Rabu, 23 Desember 2009

Apanage dan Bekel

A.Ringkasan Buku
Pada awal abad ke-19, di Jawa merupakan periode eksploitasi agraria. Tahun 1930 Sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel) dimulai, dan tahun 1870 dikeluarkan Undang-Undang Agraria (UUPA) oleh pemerintah kolonial. Esensi dari UUPA tersebut adalah memberikan kebebasan perusahaan swasta untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda.
Dengan kultur masyarakat kerajaan yang masih begitu kuat di Surakarta, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mudah untuk menerapkan kebijakannya yang ingin menjadikan tanah tradisional menjadi argo-industri di pedesaan Surakarta. Daerah ini merupakan salah satu daerah Vorstenlanden selain Yogyakarta. Munculnya Tanah Apanage adalah sebuah konsekuensi dari masyarakat kerajaan yang feodalistik dan tradisional seperti halnya dengan Kasunanan maupun Mangkunegaran Surakarta.
Sistem Apanage ini muncul dari dari suatu konsep bahwa penguasa (raja) adalah pemilik seluruh tanah di wilayah kerajaan. Untuk menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pejabat kerajaan yaitu patuh . Dan sebagai imbalannya, patuh mendapatkan Tanah apanage yang terletak di negara agung. Tanah ini merupakan tanah jabatan. Selain itu para patuh juga berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagian hasil dari apanage.
Karena patuh ini tinggal di kuthagara, maka tidak bisa mengerjakan apanage-nya. Maka patuh mengangkat seorang bekel. Selain menjadi wakil patuh untuk menebas pajak, bekel juga mendapatkan hasil tanah atau sebagian pajak. Tertib tidaknya pajak dari petani sangat bergantung dari para bekel. Karena begitu berkuasanya bekel di Tanah Apanage, maka memunculkan peran bekel sebagai penguasa desa.
Antara tahun 1839-1920 terjadi perubahan status terkait dengan peranan bekel di pedesaan Surakarta. Pada tahun 1930 setelah Perang Diponegoro berakhir, terbuka fase baru bagi para pengusaha perkebunan untuk mengusahakan komoditas ekspor bagi pasar Eropa. Dalam rangka perluasan ini banyak tanah apanage disewa dari para patuh atau pemegang hak tanah apanage.
Di dalam masyarakat tradisional, bekel menguasai seluruh tenaga kerja yang ada di tanah apanage. Akan tetapi setelah tanah tersebut disewa oleh perusahaan perkebunan, hak-hak yang ada pada patuh beralih kepada perusahaan perkebunan. Dengan adanya perubahan pemegang tanah apanage ini, berubah pula peran bekel itu sendiri.
Selama abad ke-19 tersebut tampak sekali perubahan peran bekel yang secara berlahan bergerak dari aktivitas ekonomi menuju politik. Ia merupakan bagian dari politik kolonial untuk melakukan eksploitasi. Namun karena masih begitu kuatnya ikatan solidaritas komunal di pedesaan Surakarta, perluasan perusahaan perkebunan yang ingin dilakukan oleh pemerintah kolonial menghadapi hambatan yang berupa sistem apanage.
Sistem ini adalah kendala besar bagi proses industrialisasi dan komersialisasi pemerintah kolonial. Dalam sistem apanage ini masih berlaku berbagai macam kerja wajib yang terikat secara organik dalam ikatan feodal. Tentunya model seperti ini adalah hambatan dalam proses modernisasi. Oleh karena itu pemerintah kolonial ingin mengubah kerja wajib menjadi kerja upah yang membebaskan petani dari ikatan kerja tradisional. Para petani berhak memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dengan imbalan upah.
Cara lain untuk menghapus hambatan tersebut, pemerintah kolonial melakukan reorganisasi (perombakan), yaitu dengan menata kembali kedudukan tanah desa dan membentuk administrasi pemerintahan desa. Dalam usaha penataan tersebut, penghapusan apanage mau tidak mau harus dilakukan. Karena dengan adanya perubahan status apanage dari wewenang anggaduh (hak mengerjakan) menjadi wewenag pandarbe (hak milik) akan memudahkan pelaksanaan kontrak tanah.
Pada tanggal 19 Januari 1909 Gubernur Jendral Van Heutz memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Kemudian pada tanggal 22 November 1909 rencana reorganisasi yang dibuat oleh Direktur Pemerintah Dalam Negeri de Graaff dikirim kepada Residen Surakarta Van Wijk untuk menyampaikan kepada Sunan. Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral, Sunan (Paku Buwono X) mengatakan setuju terhadap rencana tersebut.
Di Kadipaten Mangkunegaran reorganisasi sudah dilakukan lebih dulu. Tanah-tanah apanage sudah dicabut sejak tahun 1862 untuk dijadikan perkebunan. Para patuh diberi ganti traktmen f 10,-/ jung setiap bulan untuk narapraja dan legion serta f 120,-/ jung setiap bulan untuk sentana.
Dalam masa transisi dari sistem apanage menuju ke sebuah sistem pemilikan tanah secara individu ini, peranan bekel sangat diperlukan. Karena bekel ini yang menjadi penghubung antara petani dengan patuh maupun pemerintah kolonial.
Walaupun sistem apanage sudah dihapus pada bulan Januari 1918, namun belum sepenuhnya harapan pemerintah kolonial untuk menguasai tanah dan tenaga petani tercapai. Oleh karena itu diperlukan transformasi struktural yang komplek, artinya pemerintah harus mengubah masyarakat agraris menjadi argo-industri. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, perusahaan perkebunan memanfaatkan kekuasaan bekel sebagai pemimpin desa untuk mengerahkan para petani dan melaksanakan segala peraturan, pungutan dan pengerahan tenaga kerja.
Selain untuk memudahkan kontrak tanah, reorganisasi agraria ditujukan agar perusahaan perkebunan menguasai tanah dan tenaga murah. Untuk mendukung transformasi tersebut, dibutuhkan juga perubahan kelembagaan desa. Kebekelan diubah menjadi kelurahan yang mewadahi solidaritas komunal petani untuk pengerahan tenaga kerja. Dengan kata lain desa-desa dikordinasikan di bawah pemerintahan kelurahan agar desa-desa mudah dikontrol dari pusat pemerintahan.
Untuk menciptakan masyarakat agro-industri, pemerintah kolonial memaksakan berbagai perubahan. Perjanjian sewa tanah, uang sewa tanah, upah kerja dan lain-lainnya diatur sehingga masyarakat desa semakin tergantung pada perusahaan perkebunan.
Di antara para bekel ada yang merasa tidak puas dengan terhadap tindakan perusahaan perkebunan yang merugikan desa. Kesempatan semacam ini digunakan oleh golongan-golongan sosial lain seperti elit agama, birokrat, dan bamgsawan yang merasa dirugikan sehingga mereka membentuk persekutuan yang lebih besar.
Salah satu hal yang tersurat dari reorganisasi agraria adalah memajukan perekonomian petani. Kenyataannya kehidupan petani tidak menjadi lebih baik. Sawah petani semakin terdesak karena perusahaan perkebunan menggunakan sekitar 40% sawah petani. Selain itu pada tahun 1920 khususnya harga sewa tanah perkebunan tebu diturunkan harganya dari f75,14 setiap bau menjadi f50,-.
Kemudian pada akhir tahun 1920, reorganisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sudah tampak di pedesaan Surakarta. Perubahan kedudukan tanah dan pembentukan pemerintahan desa dapat dipandang sebagai gejala historis yang merupakan indikator perubahan sosial. Selain itu, pada tahun 1920 merupakan tahun berakhirnya gerakan radikal sebagai reaksi yang kuat terhadap perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
B.Analisis
Buku yang berjudul Apanage dan Bekel yang ditulis oleh Dr Suhartono, ingin mengungkap pola dan corak perubahan pemilikan Tanah Apanage serta perubahan bekel di Surakarta antara tahun 1830 sampai tahun 1920.
Tulisan Suhartono ini dapat digolongkan dalam corak studi pada tema tertentu (perkembangan aspek/ tema tertentu dalam waktu tertentu pula). Selain itu juga, Suhartono menggunaka berbagai pendekatan (multidimensional) untuk menganalisis dinamika masyarakat pedesaan di Surakarta antara tahun 1830-1920.
Tulisan ini digolongkan sebagai sejarah baru (new history) seperti yang dikehendaki Ibnu Khaldun maupun Lucian Febvre dari Madzhab Annales yang menggunakan berbagai macam pendekatan. Atau sering disebut dengan Sejarah Struktural.
Bukan sejarah konvensional yang hanya menggunakan satu prespektif / sudut pandang. Selain satu prespektif saja, sejarah konvensional juga hanya mengangkat sejarah orang-orang besar saja. Kecenderungan sejarah model ini biasanya hanya pada sudut pandang politik.
Beberapa pendekatan yang digunakan oleh Dr. Suhartono dalam buku Apanage dan Bekel ini diantaranya :
Pendekatan ekonomi :,Dalam sistem apanage ini, tanah memiliki peranan yang sangat penting. Karena tanah yang digarap para petani akan mendapatkan hasil. Hasil inilah yang disebut dengan pajeg. Dari pajak inilah kehidupan ekonomi priyayi ditanggung oleh petani. Dengan kata lain, pajak digunakan untuk membiayai pemerintahan kerajaan dan kehidupan patuh.
Selain pajak, ada lagi yaitu pundhutan. Model semacam ini biasanya permintaan dari patuh pada upacar kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta merupakan reaksi terhadap pemerintah kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.
Begitu juga dengan UUPA yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial juga tidak lepas dari motif ekonomi. pemerintah kolonial akan mendapatkan keuntungan dari banyaknya perkebunan swasta yang menanamkan modalnya di pedesaan Surakarta.
Pendekatan keagamaan : dalam keadaan yang sulit, peran ulama atau kiai mendapat tempat di hati masyarakat. Mereka dihormati oleh masyarakat karena memiliki kharisma. Di antara mereka terjadi hubungan timbal balik. Reputasi mereka sebagai guru ngelmu memberikan perlindungan bagi masyarakat, dan sebaliknya masyarakat menghormatinya.
Oleh karena itu, ulama’ mampu mengajak para petani agar berpartisipasi penuh dalam menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial.
Pendekatan politik : Misalnya dijelaskan bagaimana posisi Sunan yang merupakan penguasa tertinggi dalam struktur pemerintahan di Kasunanan Surakarta. Kemudian jabatan pemerintah tertinggi dipegang oleh patih . Kemudian Bupati, Demang, Rangga dan Ngabehi.
Ditunjukkan pula keadaan politik di Surakarta antara tahun 1900-1920. Organisasi Sarekat Islam (SI) bisa hidup subur dan mendapatkan tempat di pedesaan Surakarta. Ini merupakan bukti bahwa gerakan politik di Surakarta mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat, baik itu lapisan atas maupun bawah.
Pelaksanaan reorganisasi mempunyai dampak luas, bukan hanya sosial dan ekonomi, tetapi juga politik. Kekuatan politik baru terbentuk karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan reorganisasi. Apa yang dinamakan keonaran lokal (plaatselijk onlusten) terjadi di beberapa daerah pedesaan yang melibatkan peran petani dengan dikordinasi oleh penguasa-penguasa desa.
Hubungan patron-klien dan loyalitas petani kepada penguasa desa digunakan oleh organisasi-organisasi politik, khususnya organisasi modern untuk mendapatkan masa sebanyak-banyaknya. Orientasi dan dukungan ke bawah inilah yang menyebabkan organisasi modern mendapatkan tempat di kalangan petani.
Pendekatan Sosial : dijelaskan pembagian status sosial masyarakat Surakarta, yaitu golongan atas yan g terdiri dari para bangsawan dan priyayi. Dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, pengrajin dan lain-lain. Untuk memperkuat status sosialnya, kalangan bangsawan mengadakan ikatan perkawinan dengan keluarga istana agar tercipta kestabilan politik dan pemerintah.
Dengan semakin mendominasinya pengaruh Barat di Surakarta, hubungan yang harmonis antara petani dan penguasa desa menjadi berubah. Tekanan-tekanan perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial dirasakan sangat berat, dan kontrolnya semakin kuat. Sehingga timbullah reaksi masyarakat pedesaan untuk menentangnya. Pencurian ternak, pembakaran, dan pembunuhan semakin meluas. Ini semua merupakan menifestasi ketidakpuasan petani.
Gerakan-gerakan ini langsung maupun tidak langsung melibatkan bekel untuk menolak tekanan-tekanan pemerintah kolonial melalui perusahaan perkebunan. Adanya liberasi tanah ini menimbulkan berbagai reaksi dari lembaga tradisional yang menyebabkan kelompok-kelompok sosial beraliansi dengan kelompok sosial lain untuk memperkuat gerakan antikolonial.
Reaksi dan gerakan antikolonial diwujudkan dalam tindakan radikal. Gerakan radikal baru terjadi antara tahun 1918-1920. Terjadinya perubahan sosial ini karena pemerintah kolonial tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar