Kamis, 10 Desember 2009

Petani Tebu Rakyat Intensifikasi di Desa Blulukan[1]

A. Latar belakang

Masalah areal tanah untuk penanman tebu bagi pabrik gula di Jawa bukan masalah yang baru. Masalah ini timbul bersamaan dengan berdirinya pabrik gula swasta yang mulai banyak didirikan setelah Undang-undang Agraria 1870. Pada waktu itu pulau Jawa telah padat penduduknya. Sedangkan tanah pertanian yang memenuhi syarat untuk tanaman tebu telah diusahakan seluruhnya, baik untuk tanaman yang sangat penting bagi hidup mereka yaitu padi, maupun tanaman perdagangan lainnya yang dipaksakan oleh pemerintah kolonial pada saat itu.

Karena pentingnya indusri gula bagi pemeritah kolonial, maka kebijaksanaan pemerintah dalam memecahkan masalah areal tanah dititikberatkan kepada kebutuhan pabrik gula, tanpa banyak memikirkan kepentingan para petani. Kebijaksanaan itu menimbulkan kesan negatif para petani terhadap pabrik gula. Akibatnya masih dirasakan hingga sekarang, sebab mereka beranggapan bahwa pabrik gula merupakan sisa alat kolonial yang masih ada hingga sekarang. Pemerintah telah mengambil langkah untuk menaikkan besarnya uang sewa. Uang tersebut berupa pengganti sistem bagi hasil. Dalam sistem tersebut, pembagian hasil gula kristal antara petani dengan pabrik gula, yaitu 40 % untuk pabrik gula dan 60% untuk petani.

Pada musim tanam tahun 1976/ 1977 pemerintah telah mengubah penanaman tebu dengan dengan sistem Tanam Rakyat Intensifikasi (TRI). Dalam sistem tersebut, hubungan antara petani dan pabrik gula lebih jelas, yaitu petani sebagai produsen, sedangkan pabrik gula yang melaksanakan “prosessing”. Pelaksanaan TRI di desa Blulukan, Karanganyar dimulai pada musim tanam 1978/ 1979. Tetapi pelaksanaan tersebut, belum menyeluruh dan merakyat. Petani belum begitu berpartisipasi di dalam pelaksanaan TRI ini. Petani tidak langsung tren dalam penanaman tebu, tetapi menyerahkannya kepada ketua kelompok. Sehingga untuk melaksanakan tanam tebu tersebut, para ketua kelompok terpaksa mencari tenaga kerja di luar para anggotanya dan tenaga tersebut yang sebagian besar berasal dari luar desa Blulukan sendiri.

Pada masa Kolonial Belanda pengadaan tanah maupun tenaga kerja mudah, tetapi sebaliknya setelah pendudukan Jepang, Pabrik Gula (PG) Colomadu mengalami kemunduran yang drastis. Untuk mengatasi keadaan tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1947, yaitu mengenai peraturan perkebunan republik Indonesia (PTRI). PG Colomadu yang semula milik Mangkunegoro IV diambil alih menjadi milik pemerintah. Dengan demikian PG Colomadu dapat berbenah diri demi mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pada tahun 1950, PG Colomadu kembali mengalami kesulitan dalam bidang pengadaan tanah dan tenaga kerja. Hal ini disebabakn adanya organisasi buruh dan organisasi tani. Kesulitan ini mencapai pucaknya pada tahun 1957 dimana pada tahun itu, areal tanaman tebu hanya dapat mencapai 500 Hektar yang terdiri dari daerah persawahan yang kurang baik. Hal ini menyebabkan PG Colomadu direncanakan ditutup. Menyadari adanya kesulitan untuk memperoleh areal oleh pabrik tebu dan juga adaya persoalan-persoalan yang timbul karena masalah tersebut, maka pemerintah mengambil kebijaksanaan seperti berikut:

1. Sistem Sewa Biasa

Penggunaan tanah milik petani dilakukan oleh pabrik gula. Besarnya uang sewa tergantung pada kesuburan tanah, keadaan pengairan serta letak tanah dari “Rail Baan” (jalan pokok yang dilalui kereta api). Juga didasarkan pada jenis tanaman tebu giling, tebu bibit atau tebu tunas. Mulai tahun giling 1964/ 1965 besarnya uang sewa tersebut berdasarkan atas hasil kristal tiap hektar tanah yang bersangkutan. Besarnya uang sewa akan tergantung produktivitas tanah dan harga gula yang berlaku pada waktu itu. Pemberian uang pelaksanaan dalam 4 tahap dengan bentuk yang lain:Uang premi serah terima, uang premi produksi, uang kasapan, dan uang dongkelan.

Uang tersebut diterimakan langsung kepada petani pemilik tanah yang bersangkutan dengan catatan, uang tersebut tidak termasuk perhitungan premi-premi lainnya yang menjadi hak petani pemilik tanah yag bersangkutan.

Lamanya persewaan dihitung sejak saat para petani pemilik tanah menyerahkan tanah kepada pabrik gula untuk ditanami tebu selama 14-16 bulan tanaman tebu giling dan 11 bulan untu tanama tebu bibit.

Di desa Blulukan dalam pembayaran kepada petani dberikan dalam beberapa tahap:

v Ajon-ajon yaitu pemberian uang kepada petani/ pemilik tanah yang mendapat glebagan atau giliran sebelum tanahnya dikerjakan.

v Sawan yaitu pemberian uang kepada petani/ pemilik tanah yang sawahnya siap akan ditanami tebu. Jadi tanah sudah diserahkan kepada pabrik gula.

v Dathen yaitu pemberian uang kepada petani karena pabrik gula mendapat keuntungan. Hal ini yang disebut premi produksi.

v Uang kasepan, yaitu pemberian uang kepada petani sebagai ganti rugi pembangunan desa.

Sistem penerimaan uang kepada petani tersebut kurang menguntungkan bagi petani yang tanahnya disea untuk penanaman tebu. Agar penghasilan petani meningkat, maka pemerintah mengganti sistem lain yaitu sistem bagi hasil.

2. Sistem Bagi Hasil

Sistem ini merupakam sistem antara di antara sistem sewa dengan sistem tebu rakyat. Untuk sistem bagi hasil seluruh pekerjaan penanaman tebu dan pengolahan tabu dikerjakan oleh pabrik gula. Petani tiada turut menangani. Mereka menerima hasil dalam bentuk gula.. Pembagian hasil itu dilaksanakan setelah selesai giling.

Pada waktu diserahkan tanahnya, petani menerima uang muka atau ajong-ajong 60% dari perkirakan harga gula yang menjadi haknya. Petani memperoleh gula sekedar untuk keperluan konsumsinya selama tebu ditanam, sedangkan sisamya dibayar berupa uang sesuai dengan harga gula.

Pada sisitem bagi hasil, tanaman tebu diusahakan oleh petani pemilik yang tergabung dalam koperasi tebu. Tebu digilingkan kepada pabrik gula, dengan pembagian Kristal 40% untuk pabrik gula dan 60% untuk petani. Petani mendapat uang muka tidak lebih dari 60% perkirakan hasil gula bagiannya. Gula yang menjadi bagian petani dikuasai dan penjualannya diatur oleh pemerintah denga harga yang tidak merugikan petani.

Yang mendorong timbulnya sistem bagi hasil adalah timbulnya inflansi. Dengan sistem bagi hasil diharapkan penerimaan petani dapat meningkat sejalan proses inflansi. Sistem sewa tanah untuk tanaman tebu merupakan warisan undang-ungdang kolonial yang mengandung unsur pemeresan.

Menurut konsep Jawa, tanah berserta isinya adalah milik raja. Raja berhak menyewakannya kepada siapa saja dan berhak pula menariknya kembali bila sudah tiba waktunya atau bila di anggap perlu. Tetapi penyerahan ini biasanya diberikan kepada keluarganya, bangsawan, priyayi. Tanah yang diberikan oleh raja ini disebut tanah daleman., yakni tanah raja yang diyakini untuk dirinya sendiri.

Sebagai imbalan dari jerih payahnya, raja atau lurah patuh memberikan seperlima sisanya dikerjakan oleh para petani. Petani yang mengerjakan tanah ini dikenakan suatu peraturan yang disebut sistem maron, yakni petani harus menyerahkan separuh dari hasil tanah garapannya. Penyerahan ini bisa dalam bentuk uang, maupun bentuk hasil panen (in nature).

Petani juga dibebani kewajiban menjalankan kerja rodi. Pekerjaan rodi tersebut paling tidak 3 macam yaitu:

1. Kerja rodi untuk kepentingan bersama, yakni kepentingan raja atau lurah patuh dan kepentingan petani.

2. Kerja rodi dalam bentuk jaga malam, yakni menjaga rumah, perkarangan atau milik berharga dari raja dan lurah patuh.

3. Kerja rodi untuk menggulangi malapetaka/kecelakan atau pekerjaan yang membuthkan penyelesaian dengan cepat.

Penyerahan tanah areal tanah untuk penanaman tebu, media yang digunakan adalah ikatan desa, karena penduduk mempunyai rasa tunduk kepada kepalam desa. Melihat uang sewa yang diterimakan kepada petani, bila dibandingkn dengan hasil panen padi dan palawija selama satu tahun sangat tinggi. Untuk mengatasi keadaan tersebut pemerintah mengluarkan sistem penanaman tebu yang langsung dilaksanakan yang disingkat menjadi TRI.

3. Sistem Tebu Rakyat dan Sistem Tebu Rakyat Intensifikasi

a. Sistem Tebu Rakyat

Sistem tebu itu penanaman tebu tidak ada hubunganya dengan pabrik gula dalam masalah tanah. Berbeda dengan sistem sewa biasa sebab sistem tebu rakyat ini petani menanami sendiri tanahnya dengan tanaman tebu dan kemudian menjual hasilnya kepada pabrik gula (PG). Sistem tebu rakyat ini dapat digolongkan dala dua macam, yaitun tebu rakyat kontrak dengan tebu rakyat biasa.

Pada sistem tebu rakyat kontrak, petani tebu mengadakan perjanjian dengan pabrik gula setempat. Dalam perjanjian itu antara lain ditetapkan bahwa untuk pemeliharaan tanaman tebu diperlukan pinjaman dari pabrik gula dengan ketentuan bahwa tebunya nanti akan digilingkan pada pabrik gula yang bersangkutan dengan cara pembagian tertentu dari hasil kristalnya.

Sedangkan pada sistem tebu rakyat beban penanaman tebu dilakukan oleh petani dan tidak ada ikatan dengan pabrik gula. Hasilnya nanti oleh petani secara bebas dapat dibuat menjadi gula mangkok atau menggilingkan tebunya pada pabrik gula dengan membagi hasil kristalnya dengan perjanjian pembagian tertentu.

Adapun pendekatan yang dijalankan dalam melaksanakan sistem tebu rakyat yaitu:

1. Melalui Camat selaku kepala wilayah, agar dapat mengkordinir pelaksanaan sistem tebu rakyat.

2. Melalui kepala desa, selaku pemerintah desa, agar memberikan bimbingan dan pengarahan tentang cara mengolah tanah dan peningkatan-peningkatan melalui penanaman tebu.

Dengan demikian pabrik gula dalam memenuhi kebutuhan gula, sebagian sudah dipenuhi oleh petani sendiri.

b. Sistem Tebu Rakyat Intensifikasi

Tebu rakyat intensifikasi (TRI) ini dijalankan atas dasar instruksi Presiden RI No 9/1975. Tujuan diadakannya sistem TRI ini adalah untuk meningkatkan pendapatan petani tebu dan sekaligus memantapkan serta meningktkan produksi gula. Disamping itu yang tak kalah pentingnya dari tujuan di atas ialah untuk menghilangkan hubungan yang tegang antara pabrik gula dengan petani pemilik tanah pada waktu-waktu penentuan besarnya uang sewa.

Pada sistem tebu rakyat itu biasa itu pabrik gula tidak adanya ikut campur tangan pada penanaman tebu dan tinggal mengalah hasil tanaman petani berupa tebu menjadi gula Kristal.Tetapi pad sistem TRI ini pabrik gula mempunyai kewajiban di samping mengolah tebu menjadi gula Kristal dengan cara bagi hasil, juga harus memberi bimbingan/ penyuluhan kepada petani

Dalam penanaman tebu sistem TRI ini, pemerintah melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI) mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan kepada petani tebu berupa kredit untuk biaya penggresapan, pembelian pupuk, ongkos tebang, dan ongkos angkut serta kredit untuk keperluan hidup selama tebu belum dapat dipetik hasilnya

Sebagai pelaksana penanaman TRI adalah ketua kelompok. Adapun pesyaratan sebagai ketua kelompok TRI adalah sebagai berikut:

1. Petani perserta tebu rakyat Intensifikasi (TRI).

2. Sanggup bekerja secara penuh (full timer).

3. Mempunyai dedikasi yang baik serta berwibawa.

4. Telah mengerti atau mampu menerima bimbingan dalam kultur takni tanaman tebu

5. Diprioritaskan petani maju yang mempunyai tanah gaapan di lokasi TRI setempat.

B. Penghasilan Tebu TRI.

Setelah tebu TRI digiling kemudian diadakan perhitungan untuk menetapkan hasil gula petani. Gula bagian petani TRI tersebut kemudian dijual dengan cara pelelangan. Dari hasil lelangan gula petani TRI laku Rp 18.000,00 tiap kwintal. Hasil tersebut kemudian dipotong oleh kewajiban pemerintah yang berupa cukai gula, PPu Gula, MPn karung, MPO, suatu proyek khusus pemerintah. Setelah itu kemudian dipotong oleh Pabrik Gula Colomadu sebagai biaya ongkos pengangkatan tebu, pembayaran tenaga kerja dan pengangkutan pupuk. Dipotong lagi guna membayar hutang beserta bunga kepada BRI.

Dari tahun ke tahun penghasilan tanaman tebu mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan hasil gula yang diterima petani terus menerus turun, akibatnya petani mengalami kerugian. Kemerosotan produksi gula menimbulkan kerugian langsung kepada petani, pabrik gula, maupun pemerintah. Kerugian petani merupakan akibat penghasilan-penghasilan tanahnya merosot yang hilang dibanding tahun 1975-an. Tebu yang melimpah tetapi hasilnya rendah, memberi beban kepada pabrik untuk bekerja keras hampir dua kali lipat dalam memperoleh produksi gula yang sama.

Pada tanggal 11 Desember 1974 di Pabrik Gula Bedjosari (Madiun), Menteri Pertanian Prof. Dr. Ir. H. Thoyib Hadiwidjaja menginstruksikan kepada semua pimpinan PNP/ PTP Gula untuk menaikkan produksi dengan rata-rata lima persen setiap tahun. Bagi yang giat bekerja dan berhasil akan diberi insentif, sebaliknya sanksi akan dijatuhkan kepada mereka yang lalai. Instruksi ini dilaksanakan oleh Pabrik Gula seluruh Indonesia.

Dari hasil produksi tahun 1982, dengan produksi 54,9 kwintal gula per hektar harga tetes yang diterima petani serta penghasilannya dalam bentuk uang selama 16 bulan setelah dipotong pembayaran kredit dan bunganya, dan setelah ditambah biaya bantuan hidup, mka penghasilan seorang petani selama 16 bulan adalah Rp. 386.602, atau Rp. 24.162 per bulan atau hanya Rp. 805 per hari. Jika rata-rata pemilik tanah petani memiliki 0,25 hektar, maka penghasilannya dari TRI hanya sekitar Rp. 201 per hari.

Penghasilan petani TRI yang sangat kecil ini disebabkan oleh:

a. Sistem pengolahan tanaman tebu, dimana dalam pengolahan tanaman tebu ketua kelompok tidak mentaati bimbingan dari pabrik gula. Dan sebaliknya pembimbing tidak mengambil pekerjaan lembur, akibatnya teknik tanaman penanaman tebu banyak yang ditinggalkan oleh ketua kelompok.

b. Kelambanan kerja, yang disebabkan karena masyarakat desa Blulukan sudah tidak mau bekerja di kebun tebu. Dan petani TRI tidak menyerahkan tanahnya tidak tepat waktu.

c. Ketidakjelasan fungsi badan-badan yang terlibat dalam pembinaan maupu n pelaksanaan TRI.

d. Manipulasi pihak yang diberi kepercayaan mengatur pelaksanaan TRI.

e. Program alih teknologi yang kurang berhasil

f. Rendemen tebu yang rendah

Bisnis gula dengan tanaman tebu sebagai pangkalnya berada di bawah keterlibatan banyak pihak. Fungsi masing-masing pihak pun telah digariskan dengan terang dan jelas di dalam Inpres No. 9, yaitu:

a. Pihak pabrik gula beridiri di tengah petani tebu, siap menolah hasil kebun para petani.

b. KUD diharapkan untuk menjadi penghhubung antara petani dengan pabrik gula untuk menjalin kelancaran produksi.

C. Kehidupan Sosial Ekonomi Petani TRI di desa Blulukan

1. Kehidupan Petani TRI

Petani dengan anak tiga dapat hidup cukup bila tanah sawahnya yang ditanami tebu menghasilkan 165 kwintal perhektar atau RP.1.000,00 per hari. Karena penghasilan tebu TRI yang dilaksanakan di desa Blulukan hanya mencapai 65 kwintal per hektar yang berarti Rp.201,00. Dengan demikian kehidupan petani TRI di desa Blulukan tidak tergantung dari hasil tebu saja. Tetapi kehidupan sosial ekonomi juga ditentukan oleh aktifitas keluarga itu sendiri. Aktivitas yang dimaksud adalah keterlibatan anggota dalam kegiatan untuk mendapatkan penghasilan guna memnuhi kebutuhan hidup. Adapun yang dimaksud keluarga yaitu ayah, ibu, anak, maka yang mencari penghasilan bukan hanya kepala keluarga, tetapi juga anggota keluarga yang lain, yaitu istri, anak-anak yang sudah mencapai usia kerja. Sistem seperti ini sudah umum dilakukan di pedesaan.

2. Hubungan Kerja Petani Desa Blulukan

Hubungan kerja yang dimaksudkan adalah hubungan kerja antara petani dan buruh tani. Hubungan kerja ini dititikberatkan pada sistem perubahan yang ada di desa Blulukan. Berburuh tani, terutama dalam usaha tani padi dan tebu merupakan pekerjaan yang mempunyai perananbagi sebagian besar keluarga desa Blulukan. Hal ini disebabkan sebagian besar keluarga yang ada (kurang lebih 57%) adalah keluarga yang tidak mempunyai tanah garapan. Bagi keluarga ini pekerjaan berburuh tani adalah merupakan pilihan utama, sebab di desa Blulukan lapangan kerja belum banyak.

Pekerjaan buruh tani ini hanya dilakukan oleh keluarga yang tidak bertanah saja, terdapat pula petani kecil yang terlibat dalam pekerjaan ini. Sistem pengupahan yang berlaku, selain pekerjaan panen padi adalah upah harian. Sistem pengupahan dalam usaha padi, kususnya dalam pekerjaan penanaman dan panen berlaku system borongan. Di samping uang tunai sebagai upah, sebagai tambahan pemberi kerja menyediakan minuman dan makanan kecil bagi buruhnya.

Sistem hubungan kerja ini menyebabkan tidak adanya jaminan bagi si pemilik tanah untuk mendapatkan tenaga kerja sewaktu-waktu dibutuhkan. Akan tetapi mengingat banyaknya keluarga tak bertanah, maka masalah kebutuhan tenaga kerja dalam usaha tani tak banyak mengalami kesulitan. Bahkan karena sangat lemahnya keadaan ekonomi dari beberapa keluarga buruh tani tersebut. Untuk mengikutkan diri kepada si penggarap tanah. Bentuk ikatan tersebut adalah dengan jalan meminta upah di muka (sebelum pkerjaan dimulai). Sistem hubungan kerja tanpa ikatan yang tetap ini, ditandai juga dengan sedikit buruh pemanen bagi penggarap tanah dan sedikitnya majikan pemanen bagi buruh tani. Bagi penggarap tanah bebas menentukan buruh-buruh yang disukai untuk pekerjaan tanah garapannya. Begitu pula buruh bebas menentukan kepada siapa dia harus bekerja. Sistem hubungan kerja seperti ini berkecenderungan merugikan buruh tani yang berusia lanjut, terutama dalam pekerjaan yang dirasa cukup kuat, misalnya mencangkul.

Hal ini didasarkan pada alasan bahwa kurang produktif untuk memperkejakan buruh yang berusia lanjut. Sistem hubungan kerja tanpa ikatan tetap ini sebetulnya memungkinkan buruh tani dari luar desa untuk mencari pekerjaan di desa penelitian, akan tetapi hal tersebut sedikit atau jarang sekali terjadi. Hal ini antara lain disebabkan karena tersedianya buruh yang cukup dan juga karena buruh yang cukup dan juga yang keengganan dari si penggarap untuk mempekrjakan buruh dalam desanya atau tetangganya, berarti menolong buruh tersebut atau tetangganya yang juga merupakan warga desanya.

3. Hubungan Antara Petani TRI dan Pabrik Gula Colomadu

Hubungan antara petani TRI dan pabrik Gula Colomadu adalah hubungan dalam pelaksanaan penanman tebu TRI. Karena beranggapan bahwa untuk mengetahui adanya kasus manipulasi TRI di kabupaten Karanganyar yang timbul pada musim tanam 1981/1982 dan 1982/1983. Manipulasi KUD terhadap TRI tersebut juga membawa akibat petani TRI di kecamatan Colomadu pada umumnya dan petani TRI desa Blulukan pada kususnya. Di dalam instruksi dijelaskan bahwa petani TRI dan Pabrik Gula merupakan partner hubungan kerja, petani sebagai produsen pabrik gula sebagai pembimbing teknis lapangan, mulai penanaman sampai dengan penebangan tebu.

Hubungan antara petani TRI dan pabrik Gula selama TRI dilaksanakan di desa Blulukan adalah baik. Karena belum ada gejala-gejala maupun data-data yang membuat petani TRI resah akibat perbuatan pabrik gula. Misalnya, pabrik mempersulit pengadaan pupuk, bibit, maupun kredit yang diterima oleh petani. Sinder juga memberikan kesempatan kepada Ketua Kelompok untuk mengikuti kursus-kursus, latihan kerja yang diselenggarakan oleh pabrik gula.



[1] Skripsi dari Mino C0578018. Tugas Sejarah Agraria Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar