Selasa, 29 Desember 2009

Mengenal Mbah Mutamakkin

[Tulisan ini aku persembahkan kepada teman-temanku. Maaf kalau pas khaul aku tidak bisa ke Kajen]
Pepatah mengatakan, Dimana ada gula, di situ ada semut. Pepatah tersebut sangat tepat untuk menggambarkan keadaan khaul Syeh KH Ahmad Mutamakkin yang diperingati tanggal 10 Muharram setiap tahunnya.
“Suronan” adalah istilah yang digunakan oleh masyarakat setempat untuk menyebut tanggal sepuluh bulan Asyura. Setiap tanggal 10 Syuro, Desa Kajen menjadi menjadi lautan manusia. Di setiap ruas jalan dipenuhi oleh para peziarah. Banyak masyarakat dari berbagai penjuru datng ke Pesarean Mbah Mutamakkin. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendapatkan berkah.
Mbah Mutamakkin adalah seorang ulama yang berasal dari Tuban, Jawa Timur. Di kampung asalnya, beliau juga dikenal dengan nama “Mbah mBolek”, sesuai nama desanya yaitu Cebolek. Nama “Mutamakkin” yang bermakna orang yang meneguhkan hati atau yang diyakini akan kesuciannya konon adalah gelar yang diberikan kepada beliau seusai dari menuntut ilmu dari Timur Tengah.
Garis keturunan Mbah Mutamakkin dari bapak adalah Sultan Trenggono (Raja Demak III tahun 1521-1546) yang bertemu dengan pada silsilah Raden Fatah (Pendiri Kerajaan Demak 1478-1518). Dari Ibu, keturunan Sayid Ali Bejagung, Tuban Jatim. Sayid Ali ini mempunyai putera bernama Raden Tanu, Tanu ini mempunyai seorang puteri, yakni ibu Mbah Mutamakkin.
“Sumohadiwijaya” adalah nama ningrat Mbah Mutamakkin. Putera Pangeran Benawa II (Raden Sumohaidnegara) bin Pangeran Benawa I (Raden Hadiningrat) bin Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging bin Ratu Pembayun binti Prabu Brawijaya. Ratu Pembayun adalah saudara perempuan Raden Fatah. Istri Jaka Tingkir adalah Putri Sultan Trenggono bin Raden Fatah.
Diperkirakan beliau hidup sekitar tahun 1685-1710. Konon, sepulang dari Timur Tengah, Mbah Mutamakkin tidak langsung pulang melainkan pergi ke daerah utara Pati. Beliau tinggal di Cebolek di sebelah utara desa Kajen.
Terdapat pula cerita yang berkembang di masyarakat setempat (foklor) menyebutkan, sepulangnya dari menunaikan Ibadah haji, beliau menaiki jin. Tiba-tiba di tengah laut, oleh jinnya, beliau dijatuhkan di tengah laut. Kemudian beliau diselamatkan “Ikan Mladang”. Beliau dilemparkan sampai di suatu tempat. Tempat tersebut dinamai Desa Cebolek.
Ada dua versi tentang asal usul desa ini. Pertama adalah dari kata “ceblok” (jatuh), dan kedua “Jebol-jebul melek” (tiba-tiba membuka mata). Di Cebolek, Pati, beliau tinggal.
Suatu malam, Mbah Mutamakkin melihat sinar yang terang di langit. Karena heran, kemudian beliau mencari dari mana asal sinar tersebut. Ternyata sinar tersebut adalah sinar K.H Syamsuddin, pemangku Desa Kajen yang sedang melaksanakan shalat tahajjud. Tidak banyak cerita yang berkembang, kemudian Mbah Mutamakkin dinikahkan dengan putrinya Nyai Qodimah.
Mbah Mutamakkin memiliki putra yaitu Nyai Alfiyah Godeg, Kiai Bagus, Kiai Endro Muhammad. Putra kedua, Kiai Bagus kemudian bertempat tinggal di Jawa Timur. Di negeri orang tersebut, Kiai Bagus memiliki keturunann antara lain KH Hasyim Asyari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang), dan K.H Bisri Syamsuri (Pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang). Keduanya ini adalah kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Sedangkan Alfiyah dan Endro tetap tinggal di kajen. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, banyak keturunan Mbah Mutamakkin yang mendirikan sejumlah pondok pesantren (Ponpes) di Kajen. Misalnya pada tahun 1900, Kiai Nawawi putra KH Abdullah mendirikan Ponpes Kulon Banon atau Taman Pendidikan Islam Indonesia (TPII). Pesantren ini adalah Pospes tertua di Desa Kajen.
Menyusul kemudian, KH Ismail mendirikan Ponpes Raudhatul Ulum (PPRU), Tahun 1902, KH Siraj, putra KH Ishaq mendirikan Ponpes Wetan Banon yang kemudian dikenal dengan Ponpes Salafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh KH Baidhowi Siroj. Penamaan Kulon atau wetan banon ini didasarkan atas posisinya dari komplek pesarean Mbah Mutamakkin yang dikelilingi tembok besar (banon).
Sekitar tahun 1910, K.H Abdussalam (Mbah Salam), saudara Mbah Nawawi, mendirikan pesantren di bagian Barat Desa Kajen yang dinamakan Popes Pologarut. Dalam perkembangannya menjadi Ponpes Maslakhul Huda Polgarut Putra (PMH Putra) dan Polgarut Selatan (PMH Pusat).
Murid dari Mbah Mutamakkin sangat banyak. Di antranya Mbah Ronggokusumo, Kiai Mizan, dan Kiai Shaleh. Mbah Ronggo putra kiai ageng Meruwut, yang masih keponakan Mbah Mutamakkin. Dia ditugaskan di Ngemplak.
Peninggalan Arkeologis
Pesarean (makam) Mbah Mutamakkin berada di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati. Tepatnya 18 kilometer ke arah utara Kota Pati.
Salah satu peninggalan beliau adalah sebuah masjid yang klasik. Masjid Kajen, orang setempat menyebutnya. Masjid tersebut terbilang unik. Pasalnya, hampir seluruh bagiannya terbuat dari kayu jati.
Walaupun pernah dipugar beberapa kali, namun dua saka (tiang) yang berada paling depan yang disebut “saka nganten,” dan dua buah pintu yang berada di sebelah utara dan selatan masih tetap utuh.
Seperti umumnya masjid jami’, di Masjid Kajen juga terdapat sebuah mimbar. Mimbar yang diyakini buah karya Mbah Mutamakkin penuh dengan ornament yang tinggi seninya. Banyak penafsiran tentang ornament tersebut. Misalnya bulan sabit yang dipatok burung bangau. Artinya: semangat dan do’a akan snggup untuk menggapai cita-cita yang mulia.
Pada mimbar juga terdapat sebuah ukiran berbentuk kepala naga yang berjumlah dua, yakni sebelah kanan dan kiri mimbar. Ada juga yang mempercayai dua kepala naga tersebut adalah naga milik Aji Saka (Tokoh legenda sejarah masuknya Islam di Tanah Jawa yang dianggap juga seletak penanggalan tahun saka).
Selain masjid, terdapat juga peninggalan berupa sumur Mbah Mutamakkin yang berada di Desa bulumanis. Air tersebut tidak berasa tawar meskipun berjarak sekitar satu kilometer dari laut.
Karena jasa Mbah Mutamakkin, sedikitnya terdapat 34 Ponpes yang berdiri di Desa Kajen hingga sekarang. Selain pesantren tradisional, muncul berbagai lembaga pendidikan nasional yang unik. Walaupun menggunakan pelajaran umum, namun tidak lupa kitab kuning juga diajarkan di sekolah tersebut.
Belum selesai…

Rabu, 23 Desember 2009

Aksi Sepihak Petani Pedesaan di Jawa Timur dan Kegagalan Landreform Tahun 1960

A. Pendahuluan
Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, masalah tanah merupakan salah satu persoalaan yang sangat prinsip bagi kehidupan petani sejak zaman penjajahan sampai sekarang. Hal itu dikarenakan sebagian besar rakyat Indonesia hidup sebagai petani. Sistem hukum tanah yang ada, yang berasal dari zaman sebelum kemerdekaan saling bertentangan, seperti pertentangan antara hukum adat dan hukum barat sebagai akibat dilaksanaknnya hukum agraria Belanda. Akibatnya terjadilah kesimpangsiuran dalam sistem pemilikan tanah.
Konflik-konflik telah terjadi di berbagai tempat di Jawa Timur sebagai akibat sampingan dari pelaksanaan UUPA. Konflik-konflik itu menggambarkan reaksi sengit terhadap perubahan sosial yang dilaksanakan. Konflik-konflik itu telah menimbulkan gejolak dan keresahan yang meluas pada masyarakat petani di Jawa Timur baik pemilik tanah luas atau tuan tanah maupun yang tidak bertanah.
Wilayah Jawa Timur merupakan suatu area yang pada tahun 1960-an sangat kental diwarnai konflik ideologi-politik-ekonomi. Ideologi atau aliran politik tertentu (selain Pancasila) dan kepentingan-kepentingan tertentu yang “dimaksudkan” lewat persoalan tanah ternyata telah menimbulkan keresahan dan konflik sosial di kalangan petani seperti terjadi di Jawa Timur.
Pada masa-masa itu persoalan tanah dan struktur kepemilikannya di Jawa pada umumnya dan di Jawa Timur khususnya telah mencapai tingkat kritis. Untuk mengatasinya pemerintah melaksanakan UUPA atau landreform. Pelaksanaan landreform juga dimaksudkan sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi, terutama di bidang produksi pangan.
Di berbagai daerah PKI menghantam tuan tanah dengan melakukan aksi sepihak. Para tuan tanah itu juga menjadi anggota partai politik terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ironisnya, PKI memanfaatkannya secara politis guna mewujudkan program agrarinya yang radikal lewat aksi-aksi sepihak. Dengan aksi sepihak itu PKI berusaha mematangkan situasi guna mencutuskan revolusi sosial. Dalih yang dipakainya adalah memberantas sabotase terhadap landreform yang dilakukan oleh tuan tanah dan “setan-setan desa.”
Salah satu segmen sosial yang sangat menjadi atensi PKI adalah soal redistribusi tanah untuk setiap orang (landreform). Bagi PKI masalah ini penting karena bisa mencitrakan dirinya sebagai partai kerakyatan yang berorientasi pada keadilan. Tujuan akhir yang ingin dicapainya adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas. Petani yang dikooptasi oleh PKI/ BTI untuk menjadi anasir pokok dalam aksi-aksi perebutan tanah sebenarnya merupakan second line dari penempatan kaum buruh industri sebagai agen utama revolusi. Dengan kata lain walaupun PKI/ BTI mementingkan faktor petani namun secara fundamental kaum buruh tetap diutamakan.
Gerakan aksi sepihak yang dilancarkan PKI/ BTI telah mendorong terjadinya polarisasi di kalangan tuna kisma (petani tak bertanah) dan petani miskin. Buruh tani dan petani miskin pendukung PKI/ BTI bersikap mendukung, sebaliknya mereka yang berafiliasi kepada PNI dan organisasi kemasyarakatan/ politik Islam (NU, Muhammadiyah, Masyumi) menantang aksi sepihak. Polarisasi itu berkembang menjadi konflik terbuka tatkala PKI/ BTI benar-benar melakukan aksi sepihak. Kedua belah pihak berdiri di dua tempat berseberangan.
Gerakan aksi sepihak yang dilancarkan oleh Barisan Petani Indonesia (BTI) di Klaten Jawa Tengah dan berbagai daerah di Jawa Timur merupakan agitasi yang ampuh dalam upaya menggerakkan massa-rakyat pedesaan. Dari sisi perjuangan parati yang menaunginya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), gerakan aksi sepihak merupakan test case bagi gerakan yang lebih besar yang menjadi tujuan akhir perjuangan akhir PKI yaitu Gerakan 30 September 1965. Di samping itu meletusnya aksi sepihak merupakan keberhasilan dari perubahan pembinaan basis massa dari masyarakat perkotaan ke masyarakat pedesaan.
Berkaitan dengan hal tersebut, di daerah agraris seperti Kabupaten Klaten, Kabupaten Jember, maupun Kabupaten Ngawi, pemdukung utama organisasi komunis pada umumnya dating dari lapisan masyarakat paling bawah yaitu kelompok petani miskin dan buruh tani. Mereka terhimpun dalam anak organisasi PKI yaitu BTI sebaiknya pendukung oragnisasi non-komunis seperti Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur berasal dari petani menengah dan petani kecil. Adapun partai Nasionalis Indonesia (PNI) mempunyai pendukung kuat dari kalangan petani menengah, petani kaya, pamong desa, dan pegawai negeri.

B. Model-Model Pergolekan Petani
Pemberontakan petani yang berkobar sepanjang satu setengah abad dapat digolongkan sebagai gerakan tradisional, baik dalam ideologi, kepemimpinan, dan tujuan. Sebaliknya, pergolakan petani pada tahun 1960-an, di mana petani mulai terlibat dalam gerakan politik modern, merupakan politik revolusioner.
1. Struktur Agraria
Terpadunya proses monetisasi dengan kepadatan penduduk telah memacu kelompok-kelompok kelas di desa, terutama kelas penyewa, petani penggarap, dan buruh tani. Secara tradisional kriteria kepemilikan tanah telah menjadi dasar berbagai klasifikasi struktur warga desa di Jawa. Klasifikasi itu kemudian membedakan warga desa menjadi:
a. Kelompok warga desa inti (pribumi), kelompok ini memiliki tanah rumah dan hak serta kewajiban penuh sebagai warga desa dalam berbagai pekerjaan desa.
b. Indung, yaitu mereka yang memiliki sebidang tanah pertanian natau rumah tetapi tidak kedua-duanya.
c. Bujang, kelompok ini tidak memiliki tanah ataupun rumah.
Pembagian lebih lanjut terhadap golongan-golongan atau kelas-kelas di desa dapat pula dilakukan berdasarkan lamanya tinggal di desa, pemilikan perseorangan terpisah dan tanah. Tetapi pada dasawarsa 1960-an, karena kehidupan di desa belum demikian banyak meengalami differensiasi, maka kriteria kepemilikian luas tanah masih sangat mewarnai penggolongan struktur agraria hampir di seluruh pedesaan di Jawa. Struktur kelompok masyarakat di Jawa berdasarkan pemilikan tanah adalah sebagai berikut:
a. Kuli kenceng sebagai kelompok inti desa, meliputi lebih dari 50% dari jumlah pemilik tanah dan para pekerja di desa.
b. Kuli kendo, kira-kira 22% berstatus 22% sebagai calon kuli kenceng.
c. Gundul, memiliki tanah pertanian sejumlah kira-kira 4% tetapi tanpa memiliki halaman dan pekarangan.
d. Magersari, kira-kira berjumlah 12,8%, buruh tani, tidak memiliki tanah tetapi menempati rumahnya sendiri yang terletak di halaman orang lain.
e. Mondok empok, kira-kira terdiri 3,99%, penduduk desa yang tidak memiliki sawah, dan tanpa rumah sendiri.
Dari penggolongan struktur warga desa berdasarkan pemilikan tanah seperti di atas tampak bahwa di puncak struktur agrraria terdapat kelas tuan tanah besar, termasuk orang-orang dengan hak-hak pemilikan tanah yang memberi wewenang mereka untuk menyewakan tanah kepada penyewa dan sub-penyewa.
2. Struktur Sosial
Dari uraian yang telah dikemukakan tampak adanya pola pemilikan tanah di Jawa pada umumnya, terutama di daerah berpenduduk padat dengan pertanian yang intensif, merupakan hasil perkembangan pertanian menjelang dasawarsa 1960-an. Meningkatnya jumlah penduduk serta masuknya ekonomi pasar (komersial) ke pedesaan mengakibatkan para petani kecil secara berangsur-angsur tergusur dari tanahnya. Lahan yang terlalu sempit, apalagi kurang dari setengah hektar, tidak ada lagi artinya secara ekonomi. Akibatnya kaum tani semakin terikat pada hutang. Terakhir, mereka terpaksa melepaskan tanahnya, menjual tanah itu kepada orang yang lebih mampu. Status mereka berubah menjadi buruh tani yang dipekerjakan oleh kaum tani yang lebih berhasil.
Menurut pengamatan Geertz, dalam masyarakat Jawa terdapat orientasi budaya yang berbeda-beda yang biasanya dibagi dalam tiga kelompok besar yakni Priyayi (orang-orang yang mempunyai hubungan aristrokasi turun-temurun, berakar dari kerajaan Hindu Jawa Kuna), Santri (mendasarkan diri pada subtradisi Islam di Jawa, secara tradisional sering dihubungkan dengan pedagang-pedagang pesisir), dan Abangan (berorientasi kepada berbagai macam kepercayaan spiritual serta upacara selamatan ritual dengan penekanan pada unsur animisme dalam sinkretisme Jawa.
PKI yang berusaha melaksanakan landreform secara radikal, memfokuskan sasarannya pada golongan (kelas) tuan tanah yang kebanyakan terdiri dari para kiai dan haji ataupun orang-orang Islam yang kaya lainnya, disamping juga orang-orang kaya dari golongan abangan.
PKI mengembangkan dan memanipulasi hubungan kerja antara tuan tanah-petani kaya dan kaum buruh tani dan petani miskin sedemikian rupa sesuai dengan paham komunis sebagai hubungan penghisapan (eksploitatif). Tujuannya adalah untuk menimbulkan pertentangan antargolongan atau antarkelas, hingga terjadilah konflik untuk mengobarkan perjuangan antarkelas.
Dalam perjuangan kelas, kelas proletar harus menghancurkan kelas tuan tanah agar terbebas dari penghisapan. PKI yang mengembangkan proses perjuangan kelas berdasaekan alasan-alasan ekonomis, tampaknya tidak memperhatikan faktor-faktor lain yang juga erat hubungannya dengan kegiatan perekonomian.
3. Struktur Politik
Sebenarnya fokus kekuatan politik para petani pedesaan terletak dalam masyarakat pedesaan itu sendiri. Intinya mengenai masalah tanah. Orientasi politik mereka hanya tertuju pada tanah sebagai lahan pertanian mereka semata. Orientasinya adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan bersifat lokal. Meskipun berbagai letupan kerusuhan sebagai akibat ketidakpuasan dan pemberontakan telah terjadi tetapi mereka tidak mampu menyusun strategi perjuangan melebihi kapasitas lokal yang berdimensi lebih luas dan berjangka panjang. Oleh karena itu kaum petani menjadi ajang perebutan pengaruh berbagai kekuatan politik sebagai perpanjangan politik tingkat nasional.
Pemimpin-pemimpin PKI menandaskan bahwa petani merupakan dasar kehidupan partai mereka. Untuk mencapai tujuan politiknya, PKI lebih bertujuan melaksanakan program agraria daripada industri. Lewat strategi itu PKI bersaing dengan NU dan PNI dalam menarik dukungan para petani. Secara eksplisit dan terbuka (terus terang), strategi itu dirumuskan melalui usaha mewujudkan UUPHB dan UUPA secara radikal. Semboyan nasionalisasi dan hak atas tanah didengungkan dihadapan petani-petani miskin dan buruh tani untuk menarik dukungan petani kelas bawah. Selanjutnya semboyan itu dianggap tidak menguntungkan perjuangan PKI, dan menjelang kongres BTI V diubah serta dirumuskan secara tegas.
Di samping itu, seperti halnya partai-partai lain, PKI merekrut massa anggotanya juga dari pendukung aliran-aliran kebudayaan atau keagamaan tertentu yang tidak dipersatukan oleh solidaritas kelas, melainkan dipertautkan oleh hubungan patron-client. Dengan kata lain, kegagalan aksi-aksi sepihak dan juga G 30 S pada tahun 1965, sebagian besar disebabkan oleh aksi-aksi massa PKI dalam pelaksanaan UUPA/ UUPHB yang ternyata secara struktural menusuk tubuhnya sendiri.
Hubungan timbal-balik antara pemilik tanah luas dengan buruh tani atau petani miskin dalam proses produksi biasanya dinamakan hubungan patron-client (patron-client relationship) atau hubungan pelindung-terlindung seperti hubungan anatara tuan tanah dengan penggarap atau buruh tani, kepala desa-warga, kiai-santri, guru-murid dan sebagainya.
Selanjutnya guna mencapau tujuannya PKI melakukan manuver politik: petani petani atau kaum buruh agar dipersenjatai sebagai angkatan ke-V. Dengan demikian gagallah tujuan PKI membentuk kelas proletar tidak bertanah. Gagal pula skenario PKI membenturkan kelas proletar dengan kelas yang lebih tinggi dalam suatu revolusi sosial. Hanya mereka yang tergabung dalam PKI/ BTI yang melakukan konfrontasi dan mereka mengalami nasib tragis.
Jadi, masuknya partai politik yang diwarnai dikotomi struktur abangan-santri ke dalam masyarakat petani tidak berhasil menciptakan kelas-kelas berdasarkan kepentingan ekonomi untuk memporak-porandakan hubungan patron-client.
4. Struktur Kepemimpinan
Konsep kepemilikan memiliki hubungan erat dengan berbagai konteks sosial dan politik seperti tercermin dalam kehidupan berbagai partai politik serta organisasi-organisasi lainnya. Kedudukan serta peranan pemimpin dan kepemimpinannya sangat penting dalam masyarakat tradisional, modern ataupun masyarakat yang sedang berubah.
Para pemimpin PKI/BTI dengan sungguh-sungguh menanamkan keyakinan bahwa program untuk menciptakan masyarakat sosialis lewat jalan menyita tanah-tanah kosong bekas perkebunan asing, tanah tuan-tuan tanah kemudian membagikannya kepada para buruh tani dan petani miskin, pasti berhasil. Tetapi kenyataannya dalam berbagai bentrokan yang timbul sebagai akibat tindakan aksi sepihak yang dilancarkan oleh pendukung partai itu terhadap tuan tanah, baik dari warga NU maupun lainnya, mereka bersifat ofensif sampai akhirnya tidak mampu menahan serang balik lawan-lawannya yang sering bertindak lebih nekad.
C. Bilur-bilur Pemicu Konflik
Salah satu masalah politik yang paling hangat pada masa Demokrasi Terpimpin dan politik Nasakom pada tahun 1960-1965 ialah masalah aksi sepihak. Masalah ini dapat dikatakan menjadi isu sentral sepanjanjang tahun 1964 dan awal 1965. Aksi sepihak dilancarkan dalam rangka pelaksanaan UUPA atau landreform dan menjadi gerakan yang meluas di Jawa, terutama di pedalamn Jawa Timur. Kekutan sosial politik yang melancarkan, membimbing, dan mendukungnya adalah PKI. Tujuannya adalah untuk melaksanakan program landreform mereka yang radikal guna mewujudkan masyarakat sosial-komunis. Sasaran PKI adalah dengan melenyapkan lawan politiknya, terutama yang mereka anggap sebagai tuan tanah serta pendukung-pendukungnya.
1. Srategi PKI Menarik Massa Petani
Para pemimpin PKI berusaha menarik keuntungan politik dengan cara mempertajam ketegangan struktural. Mereka dengan rajin melaksanakan analisis secara tajam tentang struktur masyarakat pedesaan. Para pimpinan PKI tanpa jemu terus menerangkan analisis itu kepada masyarakat melalui berbagai media.
Langkah lain yang dilakukan PKI ialah mengenal berbagai aspek kehidupan petani dalam hubungannya dengan keagrarian. Untuk menangani masalah ini, pengiriman kader-kader partai ke pedesaan menjadi salah satu program utama. Dalam waktu cukup mereka mengadakan diskusi, konsolidasi serta meluaskan jaringan organisasi yang berafiliasi kepada PKI sebagai kegiatan pokok partai.
Keadaan masyarakat dan perekonomian Indonesia yang dualistik menjadi sasaran kampanye PKI. Para petani dianjurkan untuk menyerobot atau menanami tanah-tanah perkebunan asing yang terlantar, seperti terjadi pada salah satu perkebunan bekas milik Inggris di Sumbermanjing (Malang Selatan) dan perkebunan Satak-Pawon di Jengkol dekat Pare. PKI kemudian melancarkan aksi tuntutan penyitaan di samping mendukung aksi-aksi petani itu. Di sisi lain, pemerintah berdasarkan perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) berusaha mengembalikan perkebunan itu kepada pemiliknya. PKI dalam pembelaannya menyatakan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan jawaban terhadap langkanya tanah garapan. Tetapi tidaklah mustahil tujuan utamanya adalah untuk menarik simpati kaum tani dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
2. Landreform Sebagai Media Aksi Sepihak
Menjelang akhir tahun 1950-an, PKI melancarkan perubahan tuntutan pemerintahberdasarkan pertimbangan kekuatan. Di sisi lain program-programnya di bidang agraria juga makin radikal.
Tujuan pemerintah melaksanakan landreform adalah untuk lebih memeratakan pendapatan sesama warga negara serta menciptakan susunan sosial yang akan membuka jalan bagi peningkatan produksi nasional.
Dalam proses penetapannya, landreform ternyata diputuskan berdasarkan prinsip kompromis antar dua aliran, yaitu: pertama, aliran yang mewakili kepentingan petani tidak bertanah; kedua, aliran yang mewakili kepentingan tuan-tuan tanah atau pemilik tanah.
Ada tiga kegiatan yang menandai pelaksanaan ladreform dari tahun 1961 sampai 1965, diantaranya adalah:
1. Pendaftaran tanah
2. Penentuan tanah lebih serta pembagiannya, kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah
3. Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPHB) atau Undang-Undang No. 2 tahun 1960.


3. Pola-pola Gerakan Aksi Sepihak
PKI makin meningkatkan kegiatan penelitian setelah landreform dilaksanakan, apalagi kegiatan yang berhubungan dengan pendaftaran dan penentuan tanah lebih dipusatkan di desa-desa dan melibatkan pejabat-pejabat tingkat desa.
PKI kemudian mencium adanya tindakan yang mereka anggap menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUPA. Karenanya, PKI melancarkan protes melalui berbagai media, tindakan, dan aksi. Dengan aksi sepihak para anggota PKI/BTI serta simpatisannya melakukan gerakan pengambilalihan secara paksa terhadap tanah-tanah lebih yang diselewengkan oleh tuan tanah.
Dalam peristriwa aksi sepihak, ternyata PKI tidak berhasil memperoleh dukungan para petani miskin seluruhnya. Mereka tetap terpecah menjadi tiga kelompok besar dalam kerangka politik Nasakom. Bahkan karena aksi-aksi sepihak yang dilancarkannya, PKI mendapat perlawanan keras dari warga NU maupun PNI, disamping juga harus berhadapan dengan aparat keamanan yang setia kepada pemerintah.
Dalam pelaksanaan landreform, PKI yang semula bertindak agresif, setelah melancarkan aksi-aksi sepihak akhirnya menjadi pihak yang lebih bersifat defensif. Aksi sepihak yang dilancarkan ternyat menimbulkan sikap pro dan kontra. Tampaknya pendukung-pendukung aksi itu terutama adalah mereka yang menganut paham komunis, simpatisan-simpatisan, serta organisasi-organisasi yang berhasil dipengaruhi. Para penentangnya adalah mereka yang tidak dapat mebenarkan aksi sepihak.
Selanjutnya PKI menetapkan tiga syarat yang harus dipatuhi agar aksi-aksi yang dilancarkan sukses, yaitu:
a. Organisasi yang kompak, terutama kebulatan pendirian dan tekad pimpinan aksi di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten.
b. Penyelenggaraan pendidikan berjalan seperti kursus kilat yang khusus menangani soal-soal praktis tentang aksi untuk kader-kader desa.
c. Aksi dilancarkan secara terpimpin, mencegah aksi pimpinan tanpa massa atau aksi massa tanpa pimpinan, konsekuen bersandar pada kekuatan buruh tani dan tani miskin.
Tetapi tampaknya PKI memang belum siap untuk melakukan konfrontasi total guna melancarkan revolusi sosial lewat aksi-aksi sepihak yang dilancarkan, meskipun propaganda dan publikasi yang yang dilancarkan telah mewarnai media media masa dari akhir tahun 1963 sampai 1965-an.
D. Penutup
Jelas kiranya bahwa bukan tani penggarap, yang menjadi anggota PKI/BTI dan dicap merah, yang menjarah tuan tanah melalui aksi sepihak yang dilakukannya. Sebaliknya, justru tuan tanah yang terus-menerus menjarah hasil tenaga kerja kaum tani yang dicap merah itu. Mereka menyabot pelaksanaan UUPA dan UUPHB dengan tujuan supaya tuan tanah tetap bebas menjarah tenaga kerja kaum tani.
Fakor sosial dan budaya merupakan variable yang membedakan faktor penyebab serta pola terjadinya gerakan aksi sepihak di daerah Kabupaten Klaten dan Jawa Timur. Sebagai daerah berpenduduk terpadat di pulau Jawa maka batas maksimum penguasaan tanah di daerah seperti Klaten menurut UUPA adalah 7 hektar. Gerakan aksi sepihak sebenarnya merupakan manifestasi dari adanya masalah sosial yang sedemikian berat serta retribusi surplus yang sedemikian tidak adil. Latar belakang sosial dan budaya daerah Klaten daerah Jawa Timur berpengaruh pada jenis dan sifat gerakan aksi sepihak yang terjadi. Hubungan sosial yang semakin rumit dan redistribusi yang tak adil yang ada di Klaten serta ketimpangan dalam penguasaan faktor produksi di Jawa Timur merupakan factor pendorong bagi munculnya aksi sepihak di kedua daerah tersebut.
Dari satu sisi, gerakan aksi sepihak dapat dianggap sebagai salah satu bukti dari semakin rapuhnya ikatan komunal serta harmni yang selama ini dipercaya sebagai elemen perekat bagi masyarakat pedesaan yang semakin tersusun secara berlapis-lapis. Di sisi lain aksi sepihak juga merupakan bukti dari keberhasilan dari partai politik dalam melakukan penyadaran atau pendidikan politik kepada masyarakat pada lapisan paling bawah.
Untuk menghapuskan penghisapan feodal dan berangsur-angsur memperbaiki kehidupan petani, maka pemerintah pada tahun 1960 menetapkan UU Landreform, UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dan UUPHB (Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil). Dengan UUPA buruh tani dan tani miskin berhak mendapatkan sebidang tanah untuk hidupnya sedangkan UUPHB memungkinkan petani mendapatkan bagian yang adil dalam bagi hasil.
Strategi dan taktik tuan tanah untuk menghindari terlaksananya UUPA dan UUPHB adalah strategi dan taktik untuk mempertahankan kebathilan. Hal ini dibuktikan denagn adanya kyai-kyai yang mengalihkan status tanah pribadi mereka menjadi tanah wakaf pesantern atau masjid. Cara lain adalah dengan membagikan sebagian tanah pribadi mereka dan kerabat.
Karena pelaksanaan UUPA dan UUPHB ternyata disabot tuan tanah dengan berbagai cara, tentu wajar saja bila timbul reaksi dari kaum tani penggarap. Diantaranya dengan aksi sepihak. Aksi sepihak itu sebenarnya semacam koreksi terhadap usaha tuan tanah yang merintangi jalannya UUPA dan UUPHB serta karena kelambanan pemerintah melaksanakannya.

Daftar Pustaka
Aminuddin, Kasdi. 2001. Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965. Yogyakarta : Jendela.


































siapa Niccolo Machiavelli ?



Niccolo Machiavelli (1469 – 1527) dilahirkan di Florence, Italia. Ia merupakan salah satu filusuf yang terkenal karena pemikirannya tentang politik dan kekuasaan. Bagi beberapa filsuf lain, kuasa juga dianggap selalu asimetris: yang kuatlah yang selalu menentukan segala hal. Plato, misalnya, menunjukkan tentangannya akan hal ini – dalam dialognya dengan Trasymachus – yang menyatakan bahwa “keadilan adalah kepentingan orang yang lebih kuat. Dan Thucydides pernah juga menyebutkan bahwa dalam relasi antarnegara “yang kuat akan melakukan apapun yang bisa mereka lakukan, sementara yang lemah akan menanggung apapun yang mesti mereka derita.
Kuasa yang selalu bersifat asimetris juga dipandang oleh filusuf Robert McIver dalam bukunya: The Web of Government (1961) Menurutnya kekuasaan selalu berbentuk piramida karena kenyataan bahwa kekuasaan satu pihak selalu lebih besar dibanding pihak lain, hal mana berarti bahwa pihak yang satu lebih kuat dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan pihak lain. Bentuk piramida kekuasaan menurut McIver ini menunjukkan bahwa golongan yang berkuasa (dan yang memerintah) relatif selalu lebih kecil jumlahnya daripada golongan yang dikuasai (dan yang diperintah): the many are ruled by the few.
Tidak jauh dari pemikiran filusuf lain, Pemikiran Machiavelli muncul ketika ia dituduh berkomplot melawan penguasa Medici pada saat itu dan disiksa. Karena bersikeras dirinya tak bersalah, ahirnya Machiavelli dibebaskan. Setelah masa pembebasan, ia mulai menulis karya-karya di antaranya Il Principle (The Prince), The Discourse Upon The First Ten Books of Titus Livius, The Art of War, A History of Florence, dan Le Mandragola. Dan di antara semua karyanya itu, The Prince (Sang Raja) adalah yang paling diingat orang karena isinya dianggap melegalkan tipu muslihat, kelicikan, dusta, serta kekejaman dalam menggapai kekuasaan. Dalam bukunya digambarkan kekuasaan seorang raja yang absolut dengan kekuasaan tidak terbatas terhadap suatu negara, termasuk harta dan rakyat yang berada dalam wilayah kekuasaannya.Sebagai contoh, Machiavelli menulis

“… Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; kesemua hal ini tidak dapat digolongkan sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan…”

“… Manusia tidak segan-segan (lebih) membela orang yang mereka takuti dibanding yang mereka cintai. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban … Pada saat manusia telah mendapatkan apa yang diinginkannya, rantai tersebut akan putus. (Sebaliknya) rasa takut tidak akan pernah gagal…”
Ajaran Machiavelli sangat berpengaruh di Eropa sebelum Revolusi Prancis. Ajarannya berkembang di Eropa sekitar abad ke-17 dan dianut oleh raja – raja dari Eropa. Selain itu juga terkenal kata-kata dari Machiavelli adalah “ pemimpin harus ditakuti, bukan dicintai”. Karena dalam dunia politik, ketakutan akan menyebabkan kepatuhan terhadap pemimpin, walaupun dalam keadaan terpaksa. Sedangkan kecintaan selain menyebabkan kepatuhan juga menyebabkan pemberontakan. Tak diragukan lagi, pemikirannya yang cemerlang tentang politik dan kekuasaan. menyebabkan hampir semua pemimpin di dunia pernah membaca buku The Prince. Kabarnya, Napoleon selalu tidur dengan buku ini berada di bawah bantalnya. Begitu pula dengan Raja Frederick, Tsar Peter Yang Agung, Joseph II, Adolf Hitler, Bennito Mussolini, Lenin, dan Stalin. Michael H. Hart pun menjuluki buku ini sebagai “Buku Pedoman Para Diktator”.








Lunturnya Nilai Magis di Pesarean Mbah Langgi

Pertama kali kita mengunjungi suatu tempat yang terletak di pojok Desa Mulyoharjo, tentu kita akan melihat dan merasakan suatu keadaan yang aneh. Di antara pohon yang besar terdapat sebuah bangunan rumah kuno kecil yang tidak terawat dengan pintu yang selalu tertutup.
Itu bukan rumah seorang warga atau gubuk di sawah, melainkan sebuah pesarean (makam). Mbah Langgi, itulah nama yang diberikan oleh masyarakat setempat untuk menyebut tokoh yang tidak banyak diketahui sejarah hidupnya ini. Konon, dia adalah salah seorang yang juga melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Belanda. Tidak jelas kapan masa hidupnya, apakah pada masa VOC, politik konservatif, politik liberal atau politik ethis. Tapi yang jelas cerita yang beredar di masyarakat setempat dia hidup pada masa Belanda.
Masih menurut cerita, Mbah Langgi adalah seorang yang gemar memelihara binatang. Oleh karena itu, pada saat dirinya ditangkap oleh Belanda, tidak luput, hewan peliharaannya juga ikut dibawa. Masyarakat masih percaya bahwa setiap setelah Maghrib ada harimau yang menjaga makam Mbah Langgi. Khususnya adalah pada saat malam Jum’at kliwon. Harimau tersebut adalah salah satu hewan peliharaan Mbah Langgi. Wujud harimau yang dipercaya masyarakat tersebut kadang tampak oleh mata dan kadang tidak.
Desa Mulyoharjo merupakan sebuah desa yang secara administratif masuk Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara. Secara geografis letaknya berada pada bagian Timur Kecamatan Bangsri. Karena dianggap magis (keramat) oleh masyarakat setempat, maka setiap kali ada masyarakat yang hendak melaksanakan suatu acara (hajat), misalnya khitanan atau pernikahan, mereka harus mengunjungi (berziarah) ke tempat tersebut. Mereka percaya setelah berziarah, hajat (keinginan) mereka akan terkabul. Kurang afdhal (utama) bagi masyarakat Mulyoharjo apabila melaksanakan suatu hajat tanpa berziarah terlebih dahulu ke makam Mbah Langgi.
Masyarakat Mulyoharjo memiliki mata pencaharian yang beragam. Misalnya buruh tani, meubel, pedagang, penyedia jasa dan lain sebagainya. Namun dari berbagai mata pencahrian tersebut, masyarakat di sana dapat digolongkan tingkat perekonomiannya masih menengah ke bawah.
Seiring dengan perkembangan zaman, terutama dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), kepercayaan masyarakat mulai tergerus oleh zaman. Kini jarang ditemui adanya ritual yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk ngalap (mendapatkan) berkah di pesarean Mbah Langgi. Sempat pada tahun 2003 diperingati khaul (satu tahun) Mbah Langgi. Setelah itu belum pernah ada peringatan khaul serupa. Mungkin khaul tersebut untuk yang pertama dan terakhir kalinya.
Belum diketahui siapakah sebenarnya sosok Mbah Langgi. Apakah dia seorang ulama’, pejabat, atau seorang yang membuka tanah di Desa Mulyoharjo. Karena minimnya transformsi cerita Mbah Langgi dari generasi ke generasi, membuat kisah Mbah Langgi seakan terputus sejarahnya. Tidak jarang banyak generasi muda desa setempat yang tidak mengetahui siapa itu Mbah Langgi.
Walaupun ritual berziarah ke pesarean Mbah Langgi sudah sedikit luntur tergerus oleh waktu, namun kepercayaan adanya harimau yang menjaga pesarean tersebut masih tetap dipercaya oleh masyarakat setempat, termasuk generasi muda. Walaupun mereka tidak mengetahui siapa itu sosok Mbah Langgi itu, namun kepercayaan akan harimau tersebut tertanam di dalam diri mereka.
Ini bukan berarti kepercayaan akan harimau tidak bisa luntur seperti kepercayaan berziarah sebelum melakukan suatu hajat. Luntur atau tidaknya ritual atau kepercayaan di Desa Mulyoharjo sangat tergantung dari cerita yang berkembang di masyarakat (foklor). Banyak generasi yang tidak mempercayai nilai magis di pesarean Mbah Langgi bukan faktor Iptek satu-satunya. Masih ada faktor lain yang lebih penting yaitu tidak adanya penceritaan atau pengajaran tentang Mbah Lnggi dari generasi ke generasi. Selain itu juga tidak ada yang menuliskan sebuah foklor menjadi sebuah sejarah.
Kini rumah kecil yang berada di antara pohon besar masih terlihat angker. Di siang hari ada sebagian warga yang mencuci di sungai atau mengambil kayu di komplek pesarean. Pada saat malam hari hanya ada sebuah lampu yang meneranginya. Suara aliran sungai yang berada di bawah komplek pesarean pun terdengar dengan jelas. Suasana seperti inilah yang membuat pesarean Mbah Langgi terlihat angker.

Desa Ngablak Kabupaten Pati tahun 1869 – 1929

Pertama kali membuka buku Taufik Abdullah yang berjudul Sejarah Lokal Indonesia, saya langsung tertarik dengan tema sejarah lokal desa Ngablak. Maklum saja, selain pernah tinggal di Pati selama tiga tahun, saya juga memiliki banyak teman di desa tersebut. Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau saya ingin mengetahui sedikit dari sejarah desa tersebut.
Desa Ngablak secara administratif masuk dalam kecamatan Cluwak kabupaten Pati Jawa Tengah. Pada tahun 1869, jumlah penduduk desa Ngablak adalah 912 yang terdiri dari orang pribumi. Kemudian pada tahun 1929, jumlah penduduknya meningkat menjadi 2608 orang pribumi, ditambah 2 orang Cina.
Tahun 1869, Ngablak masih berupa hutan rimba. Karena wilayah yang berlimpah, pada tahun tersebut desa ini menyerahkan 25 bau (satu bau sama dengan 7096,50 m2) kepada desa Ngawen tetangganya. Sempat juga terjadi beberapa kali sengketa dengan desa Gerit, yang juga berdekatan dengan Ngablak. Namun akhirnya sengketa tersebut dapat diselesaikan tahun 1914, ketika diadakan penggolongan tanaman paksa.
Sejak dari itu, hutan dan rimba banyak dibuka untuk perumahan penduduk. Sebagian tanah yang dulu digunakan untuk tanaman paksa kopi Gubernemen, dipakai sebagai padang gembalaan. Karena pembukaan hutan itu, luas tanah sawah meningkat drastis, yaitu  150 %. Tanah pekarangan pun juga bertambah luas, karena ada sawah dan sebagian dari kebun-kebun kopi lama yang dijadikan pekarangan. Selain itu juga pemilikan tanah kering pun ikut bertambah karena pembukaan hutan dan perubahan kebun-kebun kopi menjadi tanah perladangan.
Masih di tahun yang sama, setiap kali musim kemarau tiba sawah-sawah ditanami dengan padi gadu, jagung, jarak, kapas dan tanaman palawija lainnya. Namun sekarang jarak dan kapas tidak lagi ditanam di desa ini.
Jarak yang dulu menghasilkan minyak lampu, pada tahun 1929 menghilang karena bertambahnya pemakaian minyak tanah. Sedangkan untuk kapas yang dahulu dipakai untuk bahan menenun pakain, pada tahun 1929 tidak ditanam lagi. Alasannya karena impor lebih murah.
Perbedaan dengan tahun 1929, setiap kali musim kemarau datang, padi tidak hanya ditanami padi gadu, jagung, maupun jarak sepertitahun 1869. Selain padi gadu, sawah ditanami juga dengan jagung, ketela dan kacang.
Ada satu lagi tanaman yang membantu penduduk dalam pencukupan kebutuhan, yaitu kapuk. Tanaman ini banyak dijumpai di sepanjang jalan dan saluran-saluran air. Pada tahun 1928, penghasilan dari penjualan tanaman ini mencapai f 288. Penghasilan ini dimasukkan ke kas desa.
Kemudian untuk peternakan terjadi penambahan dari tahun 1869 dan tahun 1929. Pada tahun pertama hewan yang ada di desa Ngablak semata-mata hanya kerbau. Namun pada tahun kedua sudah terdapat sapi dan kuda. Sapi ini terutama digunakan untuk pertanian dan sebagian digunakan untuk menarik pedati. Sedangkan kuda dipakai untuk menarik gerobak penumpang. Dengan begitu pada tahun kedua ini pemilikan alat-alat agkutan adalah hal yang baru bagi penduduk.
Pada tahun1869 biasanya ternak di sewa pada saat musim hujan. Harga sewanya dibayar denagn menggunakan padi, yakni 4 bawon (6 pikul) untuk seekor kerbau dalam semusim. Atau 1 amet dan 2 bawon (8 pikul) padi untuk sepasang kerbau. Akan tetapi pada tahun 1929 masyarakat lebih di biasakan mengupah seorang untuk mengerjakan sawah dangan pasangan kerbaunya. Upahnya yaitu f 0.50 selama setengah hari.
Masih di tahun yang sama, di desa tersebut juga terdapat tanah komunual atau yang disebut sebagai “tanah ulayat”. Yaitu sawah-sawah milik bersama. Sawah ulayat ini tidak boleh diperjual-belikan oleh si pemilik. Bidang-bidang sawah masing-masing pemiliknya tidak mempunyai tempat yang tetap, akan tetapi beralih-alih secara teratur. Sistem pengalihan ini dihentikan pada tahun 1914, dan tidak ada lagi pada tahun 1929.
Masyarakat desa yang sudah memiliki sawah, bukan sawah ulayat lebih dari 1 bau tidak diberikan lagi hak atas tanah ulayat. Sedangkan bagi masyarakat yang sawahnya bukan ulayat, tapi lausnya tidak ada1 bau, maka hanya akan mendapatkan bagian dari sawah ualayat sedemikian luas, sehingga jumlah luas seluruhnya tidak boleh lebih dari luas tanah seseorang yang menjadi kuli dari sawah ulayat. .
Pelaporan lama memberitahukan empat kali terjadi pergantian sawah-sawah menjadi sawah ulayat. Alasannya karena sawah itu terlantar, tidak terurus sesudah meninggalnnya orang yang pertama kali membukanya. Kemudian pada tahun 1929 jumlah sawah ulayat semakin berkurang dibandingkan tahun 1869. Pada tahun 1929, sebagian tanah ulayat yang tidak terpelihara, dibentuk menjadi “sawah bondo deso”. Luasnya 0,396 bau. Setiap tahun sawah itu disewakan dan hasilnya dipakai untuk kas desa.
Pada tahun 1869 tidak satupun tanah dimiliki oleh orang-orang bukan penduduk Ngablak. Tetapi pada tahun 1929 terdapat 24 bidang sawah yang bukan sawah komunal. 9 ladang dan 8 pekarangan. Jadi 41 bidang tanah yang dimiliki oleh 32 orang yang tidak bertempat tinggal di Ngablak. Para pemilik tanah ini sebagian besar tinggal di Tayu, Juwana dan ada yang di Semarang. perpindahan tanah ke tangan orang luar adalah suatu gejala baru di desa tersebut.
Pelaporan tahun 1869 menyebutkan bahwa dari 172 orang kepala keluarga, 136 orang mencari nafkah di bidang pertanian, dan 36 orang di bidang perburuhan serta perdagangan.
Tanah pekaranagn dan perumahann yang bukan tanah ulayat, dalam tahun 1869 boleh diperjual-belikan. Tetapi pembelinya hanya diperbolehkan masyarakat desa setempat saja. Mereka yang berada di luar, harus pindah dulu ke Ngablak. Akan tetapi pada tahun 1929 kepada bukan penduduk Ngablak diperbolehkan untuk membeli tanah. Begitu juga pewarisan tanah. Pada awalnya hanya diperbolehkan bagi masyarakat setempat. Tetapi sekarang penduduk dari laur pun bisa mewarisi tanah di Ngablak.
Pada tahun 1869, seorang tidak dilarang memiliki lebih dari satu pekarangan. Namun pada tahun 1929 hal tersebut diperbolehkan. Dengan demikian maka hapuslah beraneka ragam perwujudan hak kuasa desa terhadap sawah ulayat.
Pekerjaan seperti pandai emas, tukang jahit, tukang kayu, tukang dobi, persewaan kedati dan guru-guru tidak terdapat pada tahun 1869. Pekerjaan seperti itu adalah tergolong pekerjaan baru di desan Ngablak. Masih di tahun tersebut, penghasilan penduduk terutama berasal dari sektor pertanian rakyat. Tetapi pada tahun 1929 di samping dari pertanian, rakyat mendapatkan penghasilan dari sektor-sektor non-pertanian dan perburuhan.
Sekarang desa Ngablak mempunyai pasar sendiri. Tepatnya pada tahun 1926. Pembeliannya dari seorang pengusaha swasta. Pasar ini merupakan pasar kapuk yang terbesr di kabupaten Pati. Di pasar ini kapuk-kapuk di beli oleh orang Cina dan petani-petani. Orang-orang Cina itu adalah para pemilik perusahaan pengolahan kapuk di Tayu, Pati, dan Juwana.
Di musim panen selain kapuk, banyak pula diperjual-belikan barang-barang pakaian dan benda-benda lainnya. Sebagian besar dari pengahasilan yang di dapat dari penjaulan kapuk ini untuk membeli barang-barang itu. Kalau begitu, penjualan kapuk ini merupakan salah satu pemasukan besar bagi masyarakat setempat.
Pada tahun 1929 apabila dibandingkan dengan tahun 1869, pertukaran tanah, perdagangan dan transportasi lalu lintas tentulah sangat banyak bertambah. Perkreditan tanah bertambah dan didaerah-daerah ini sering dilakukan pembayaran uang muka atas harga kapuk yang akan diserahkan.
Penanaman tebu dan kapuk merupakan sesuatu yang baru dan menambah penghasilan rakyat berbentuk uang. Oleh karena itu, pada tahun 1929 penghasilan rakyat lebih banyak daripada tahun 1869. Berbagai kewajiban penduduk mulai di bayar dengan menggunakan uang, dan tidak lagi berupa tenaga kerja maupun hasil bumi.
Perkembangan yang dialami desa Ngablak sampai tahun 1929 terlihat dinamis, khususnya dari sistem ekonomi tertutup tanpa menggunakan uang ke arah ekonomi terbuka, yang menggunakan uang sebagai alat tukar.
Metodologi
Sebelum pembahasan mengenai metodologi, yang perlu diketahui terlebih dulu apakah ini termasuk sejarah lokal yang subjektif ataukan objektif. Pada awalnya saya mengira kalau tema ini adalah berupa sejarah lokal secara objektif. Alasannya karena pertama kali membaca tema ini pada bagian awal yang lebih di tekankan adalah kondisi geografis daerah Ngablak.
Namun ketika selesai membaca, ternyata saya menemukan sejumlah aktifitas manusia yang berkenaan dengan aktifitas ekonomi. Misalnya ada pasar, penjualan kapuk, dan alat transportasi. Dengan begitu saya menyimpulkan kalau tema di atas adalah sejarah lokal yang sejarah lokal yang dipandang secara Subjektif dan Objektif. Artinya prespektif dari daerah atau kondisis geografis dan aktifitas manusia di daerah itu.
Sedangkan metodologi merupakan pendekatan yg digunakan dalam kajian suatu disiplin ilmu tertentu. Dalam hal ini adalah sejarah, khususnya sejarah lokal. Tujuan digunakan metodologi ini adalah agar dapat menghasilkan kajian yang lebih spesifik.
Untuk tema di atas yang digunakan adalah pendekatan ekonomi. Misalnya disebutkan sejumlah aktifitas manusia yang berkaitan dengan perekonomia. Tidak disebutkan tentang hubungan antar masyarakat manupun kebudayaan. Jadi tema ini termasuk sejarah lokal yang menggunakan pendekatan ekonomi.

Apanage dan Bekel

A.Ringkasan Buku
Pada awal abad ke-19, di Jawa merupakan periode eksploitasi agraria. Tahun 1930 Sistem Tanam Paksa (cultuur stelsel) dimulai, dan tahun 1870 dikeluarkan Undang-Undang Agraria (UUPA) oleh pemerintah kolonial. Esensi dari UUPA tersebut adalah memberikan kebebasan perusahaan swasta untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda.
Dengan kultur masyarakat kerajaan yang masih begitu kuat di Surakarta, Pemerintah Kolonial Belanda tidak mudah untuk menerapkan kebijakannya yang ingin menjadikan tanah tradisional menjadi argo-industri di pedesaan Surakarta. Daerah ini merupakan salah satu daerah Vorstenlanden selain Yogyakarta. Munculnya Tanah Apanage adalah sebuah konsekuensi dari masyarakat kerajaan yang feodalistik dan tradisional seperti halnya dengan Kasunanan maupun Mangkunegaran Surakarta.
Sistem Apanage ini muncul dari dari suatu konsep bahwa penguasa (raja) adalah pemilik seluruh tanah di wilayah kerajaan. Untuk menjalankan pemerintahan, raja dibantu oleh seperangkat pejabat kerajaan yaitu patuh . Dan sebagai imbalannya, patuh mendapatkan Tanah apanage yang terletak di negara agung. Tanah ini merupakan tanah jabatan. Selain itu para patuh juga berhak mendapatkan layanan kerja dan sebagian hasil dari apanage.
Karena patuh ini tinggal di kuthagara, maka tidak bisa mengerjakan apanage-nya. Maka patuh mengangkat seorang bekel. Selain menjadi wakil patuh untuk menebas pajak, bekel juga mendapatkan hasil tanah atau sebagian pajak. Tertib tidaknya pajak dari petani sangat bergantung dari para bekel. Karena begitu berkuasanya bekel di Tanah Apanage, maka memunculkan peran bekel sebagai penguasa desa.
Antara tahun 1839-1920 terjadi perubahan status terkait dengan peranan bekel di pedesaan Surakarta. Pada tahun 1930 setelah Perang Diponegoro berakhir, terbuka fase baru bagi para pengusaha perkebunan untuk mengusahakan komoditas ekspor bagi pasar Eropa. Dalam rangka perluasan ini banyak tanah apanage disewa dari para patuh atau pemegang hak tanah apanage.
Di dalam masyarakat tradisional, bekel menguasai seluruh tenaga kerja yang ada di tanah apanage. Akan tetapi setelah tanah tersebut disewa oleh perusahaan perkebunan, hak-hak yang ada pada patuh beralih kepada perusahaan perkebunan. Dengan adanya perubahan pemegang tanah apanage ini, berubah pula peran bekel itu sendiri.
Selama abad ke-19 tersebut tampak sekali perubahan peran bekel yang secara berlahan bergerak dari aktivitas ekonomi menuju politik. Ia merupakan bagian dari politik kolonial untuk melakukan eksploitasi. Namun karena masih begitu kuatnya ikatan solidaritas komunal di pedesaan Surakarta, perluasan perusahaan perkebunan yang ingin dilakukan oleh pemerintah kolonial menghadapi hambatan yang berupa sistem apanage.
Sistem ini adalah kendala besar bagi proses industrialisasi dan komersialisasi pemerintah kolonial. Dalam sistem apanage ini masih berlaku berbagai macam kerja wajib yang terikat secara organik dalam ikatan feodal. Tentunya model seperti ini adalah hambatan dalam proses modernisasi. Oleh karena itu pemerintah kolonial ingin mengubah kerja wajib menjadi kerja upah yang membebaskan petani dari ikatan kerja tradisional. Para petani berhak memilih pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dengan imbalan upah.
Cara lain untuk menghapus hambatan tersebut, pemerintah kolonial melakukan reorganisasi (perombakan), yaitu dengan menata kembali kedudukan tanah desa dan membentuk administrasi pemerintahan desa. Dalam usaha penataan tersebut, penghapusan apanage mau tidak mau harus dilakukan. Karena dengan adanya perubahan status apanage dari wewenang anggaduh (hak mengerjakan) menjadi wewenag pandarbe (hak milik) akan memudahkan pelaksanaan kontrak tanah.
Pada tanggal 19 Januari 1909 Gubernur Jendral Van Heutz memerintahkan agar segera dilaksanakan reorganisasi. Kemudian pada tanggal 22 November 1909 rencana reorganisasi yang dibuat oleh Direktur Pemerintah Dalam Negeri de Graaff dikirim kepada Residen Surakarta Van Wijk untuk menyampaikan kepada Sunan. Dalam suratnya kepada Gubernur Jendral, Sunan (Paku Buwono X) mengatakan setuju terhadap rencana tersebut.
Di Kadipaten Mangkunegaran reorganisasi sudah dilakukan lebih dulu. Tanah-tanah apanage sudah dicabut sejak tahun 1862 untuk dijadikan perkebunan. Para patuh diberi ganti traktmen f 10,-/ jung setiap bulan untuk narapraja dan legion serta f 120,-/ jung setiap bulan untuk sentana.
Dalam masa transisi dari sistem apanage menuju ke sebuah sistem pemilikan tanah secara individu ini, peranan bekel sangat diperlukan. Karena bekel ini yang menjadi penghubung antara petani dengan patuh maupun pemerintah kolonial.
Walaupun sistem apanage sudah dihapus pada bulan Januari 1918, namun belum sepenuhnya harapan pemerintah kolonial untuk menguasai tanah dan tenaga petani tercapai. Oleh karena itu diperlukan transformasi struktural yang komplek, artinya pemerintah harus mengubah masyarakat agraris menjadi argo-industri. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, perusahaan perkebunan memanfaatkan kekuasaan bekel sebagai pemimpin desa untuk mengerahkan para petani dan melaksanakan segala peraturan, pungutan dan pengerahan tenaga kerja.
Selain untuk memudahkan kontrak tanah, reorganisasi agraria ditujukan agar perusahaan perkebunan menguasai tanah dan tenaga murah. Untuk mendukung transformasi tersebut, dibutuhkan juga perubahan kelembagaan desa. Kebekelan diubah menjadi kelurahan yang mewadahi solidaritas komunal petani untuk pengerahan tenaga kerja. Dengan kata lain desa-desa dikordinasikan di bawah pemerintahan kelurahan agar desa-desa mudah dikontrol dari pusat pemerintahan.
Untuk menciptakan masyarakat agro-industri, pemerintah kolonial memaksakan berbagai perubahan. Perjanjian sewa tanah, uang sewa tanah, upah kerja dan lain-lainnya diatur sehingga masyarakat desa semakin tergantung pada perusahaan perkebunan.
Di antara para bekel ada yang merasa tidak puas dengan terhadap tindakan perusahaan perkebunan yang merugikan desa. Kesempatan semacam ini digunakan oleh golongan-golongan sosial lain seperti elit agama, birokrat, dan bamgsawan yang merasa dirugikan sehingga mereka membentuk persekutuan yang lebih besar.
Salah satu hal yang tersurat dari reorganisasi agraria adalah memajukan perekonomian petani. Kenyataannya kehidupan petani tidak menjadi lebih baik. Sawah petani semakin terdesak karena perusahaan perkebunan menggunakan sekitar 40% sawah petani. Selain itu pada tahun 1920 khususnya harga sewa tanah perkebunan tebu diturunkan harganya dari f75,14 setiap bau menjadi f50,-.
Kemudian pada akhir tahun 1920, reorganisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial sudah tampak di pedesaan Surakarta. Perubahan kedudukan tanah dan pembentukan pemerintahan desa dapat dipandang sebagai gejala historis yang merupakan indikator perubahan sosial. Selain itu, pada tahun 1920 merupakan tahun berakhirnya gerakan radikal sebagai reaksi yang kuat terhadap perubahan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.
B.Analisis
Buku yang berjudul Apanage dan Bekel yang ditulis oleh Dr Suhartono, ingin mengungkap pola dan corak perubahan pemilikan Tanah Apanage serta perubahan bekel di Surakarta antara tahun 1830 sampai tahun 1920.
Tulisan Suhartono ini dapat digolongkan dalam corak studi pada tema tertentu (perkembangan aspek/ tema tertentu dalam waktu tertentu pula). Selain itu juga, Suhartono menggunaka berbagai pendekatan (multidimensional) untuk menganalisis dinamika masyarakat pedesaan di Surakarta antara tahun 1830-1920.
Tulisan ini digolongkan sebagai sejarah baru (new history) seperti yang dikehendaki Ibnu Khaldun maupun Lucian Febvre dari Madzhab Annales yang menggunakan berbagai macam pendekatan. Atau sering disebut dengan Sejarah Struktural.
Bukan sejarah konvensional yang hanya menggunakan satu prespektif / sudut pandang. Selain satu prespektif saja, sejarah konvensional juga hanya mengangkat sejarah orang-orang besar saja. Kecenderungan sejarah model ini biasanya hanya pada sudut pandang politik.
Beberapa pendekatan yang digunakan oleh Dr. Suhartono dalam buku Apanage dan Bekel ini diantaranya :
Pendekatan ekonomi :,Dalam sistem apanage ini, tanah memiliki peranan yang sangat penting. Karena tanah yang digarap para petani akan mendapatkan hasil. Hasil inilah yang disebut dengan pajeg. Dari pajak inilah kehidupan ekonomi priyayi ditanggung oleh petani. Dengan kata lain, pajak digunakan untuk membiayai pemerintahan kerajaan dan kehidupan patuh.
Selain pajak, ada lagi yaitu pundhutan. Model semacam ini biasanya permintaan dari patuh pada upacar kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian. Lahirnya Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta merupakan reaksi terhadap pemerintah kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri.
Begitu juga dengan UUPA yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial juga tidak lepas dari motif ekonomi. pemerintah kolonial akan mendapatkan keuntungan dari banyaknya perkebunan swasta yang menanamkan modalnya di pedesaan Surakarta.
Pendekatan keagamaan : dalam keadaan yang sulit, peran ulama atau kiai mendapat tempat di hati masyarakat. Mereka dihormati oleh masyarakat karena memiliki kharisma. Di antara mereka terjadi hubungan timbal balik. Reputasi mereka sebagai guru ngelmu memberikan perlindungan bagi masyarakat, dan sebaliknya masyarakat menghormatinya.
Oleh karena itu, ulama’ mampu mengajak para petani agar berpartisipasi penuh dalam menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial.
Pendekatan politik : Misalnya dijelaskan bagaimana posisi Sunan yang merupakan penguasa tertinggi dalam struktur pemerintahan di Kasunanan Surakarta. Kemudian jabatan pemerintah tertinggi dipegang oleh patih . Kemudian Bupati, Demang, Rangga dan Ngabehi.
Ditunjukkan pula keadaan politik di Surakarta antara tahun 1900-1920. Organisasi Sarekat Islam (SI) bisa hidup subur dan mendapatkan tempat di pedesaan Surakarta. Ini merupakan bukti bahwa gerakan politik di Surakarta mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat, baik itu lapisan atas maupun bawah.
Pelaksanaan reorganisasi mempunyai dampak luas, bukan hanya sosial dan ekonomi, tetapi juga politik. Kekuatan politik baru terbentuk karena ketidakpuasan terhadap pelaksanaan reorganisasi. Apa yang dinamakan keonaran lokal (plaatselijk onlusten) terjadi di beberapa daerah pedesaan yang melibatkan peran petani dengan dikordinasi oleh penguasa-penguasa desa.
Hubungan patron-klien dan loyalitas petani kepada penguasa desa digunakan oleh organisasi-organisasi politik, khususnya organisasi modern untuk mendapatkan masa sebanyak-banyaknya. Orientasi dan dukungan ke bawah inilah yang menyebabkan organisasi modern mendapatkan tempat di kalangan petani.
Pendekatan Sosial : dijelaskan pembagian status sosial masyarakat Surakarta, yaitu golongan atas yan g terdiri dari para bangsawan dan priyayi. Dan golongan bawah yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang, pengrajin dan lain-lain. Untuk memperkuat status sosialnya, kalangan bangsawan mengadakan ikatan perkawinan dengan keluarga istana agar tercipta kestabilan politik dan pemerintah.
Dengan semakin mendominasinya pengaruh Barat di Surakarta, hubungan yang harmonis antara petani dan penguasa desa menjadi berubah. Tekanan-tekanan perusahaan perkebunan dan pemerintah kolonial dirasakan sangat berat, dan kontrolnya semakin kuat. Sehingga timbullah reaksi masyarakat pedesaan untuk menentangnya. Pencurian ternak, pembakaran, dan pembunuhan semakin meluas. Ini semua merupakan menifestasi ketidakpuasan petani.
Gerakan-gerakan ini langsung maupun tidak langsung melibatkan bekel untuk menolak tekanan-tekanan pemerintah kolonial melalui perusahaan perkebunan. Adanya liberasi tanah ini menimbulkan berbagai reaksi dari lembaga tradisional yang menyebabkan kelompok-kelompok sosial beraliansi dengan kelompok sosial lain untuk memperkuat gerakan antikolonial.
Reaksi dan gerakan antikolonial diwujudkan dalam tindakan radikal. Gerakan radikal baru terjadi antara tahun 1918-1920. Terjadinya perubahan sosial ini karena pemerintah kolonial tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat.

Local genius masyarakat Jawa

Belum hilang dari memori masyarakat Kota Solo dengan ritual peringatan Kirab 1 Sura di Kasunanan Surakarta malam Jumat lalu. Ribuan masyarakat, baik itu dari Solo maupun luar Solo berbondong-bondong datang untuk menyaksikan kerbau bule keturunan Kiai Slamet digiring untuk mengelilingi keraton.
Tidak hanya melihat, mereka juga berlomba-lomba berebut untuk mendapatkan kotoran Kerbau Kiai Slamet tersebut. Tidak cukup sampai itu, alat-alat prosesi upacara yang digunakan juga tidak luput dari keroyokan masa. Hal yang menurut rasio tidak masuk akal tersebut mereka lakukan tidak lain adalah untuk ngalap (mencari) berkah.
Fenomena unik tersebut adalah salah satu kebudayaan lokal yang ada di Kota Bengawan. Ritual tahunan tersebut dilakukan untuk memperingati datangnya tahun baru Hijriyah yaitu tanggal 1Muharram 1431 dan tahun Jawa 1 Sura 1943 Dal. Sura sendiri diambil dari Bahasa Arab yakni Asyura. Selain ngalap berkah dari Kerbau Kiai Slamet, berbagai ritual lain juga dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Solo pada khususnya untuk menyambut tahun baru tersebut. Misalnya ngumbah gaman (mencuci pusaka), lelakonan (menjalankan) puasa, bertapa, membuat bubur, tirakat dan ritual lainnya.
Dalam agama (Islam), bulan Muharram (Asyura) atau tahun baru Islam adalah bulan yang mulia. Karena kemuliaannya tersebut, Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin untuk berperang. Sedikitnya terdapat empat keistimewaan di dalam Bulan Muharram. Diantaranya adalah, pertama, bulan dimana manusia pertama kali diciptakan, yaitu Adam. Kemudian menyusul diciptakan Siti Hawa. Kedua, bumi dan seisinya ini juga diciptakan juga pada Bulan Muharram. Ketiga, bulan dimana mendaratnya kapal Nabi Nuh dari terjangan banjir yang menimpa kaumnya yang membangkang, dan Keempat, bulan dimana diselamatkannya Nabi Ibrahim dari kobaran api yang membakarnya.
Keistimewaan tersebut, oleh para penyebar ajaran Islam di Tanah Jawa, termasuk Sultan Agung (1613-1645) dari Mataram Islam, diwujudkan dalam sebuah tradisi yang sesuai dengan masyarakat setempat. Hingga saat ini masih ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa pada bulan Sura tidak baik untuk menyelenggarakan hajatan. Misalnya mengadakan pernikahan, khitanan dan sebagianya.
Disinilah keunikan masyarakat Jawa. Menurut hemat penulis, inilah yang disebut dengan local genius masyarakat Jawa. Local genius merupakan kemampuan menerima suatu kebudayaan baru dan diwujudkan kembali berdasarkan pengalaman masa lampau. Meskipun dalam ajaran Islam secara jelas diperlihatkan bagaimana keistimewaan pada bulan Muharram, namun tidak bagi masyarakat Jawa. Justru dengan kearifannya, peristiwa yang terlihat jelas tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol yang unik.
Contoh lain adalah datangnya kebudayaan Hindu dari India. Oleh masyarakat Jawa tidak dengan serta merta menerima kebudayaan tersebut. Akan tetapi diseleksi terlebih dahulu kemudian diwujudkan kembali atas pengalaman masa lalu. Belum pernah dibuktikan ada candi yang sama persis dengan candi yang ada di India, meskipun sama-sama candi Hindu.
Tidak hanya sebatas ritual
Dari tahun ke tahun, masyarakat Solo sudah terbiasa dengan acara seperti itu. Mereka harus rela bangun malam agar bisa mendapatkan berkah dari Kirab 1 Suro. Begitu juga masyarakat yang datang dari luar Kota Solo. Mereka harus meluangkan waktu yang lebih untuk mandapatkan berkah dari Kiai Slamet.
Perayaan tahun baru, baik itu hijriyah atau masehi, bukan hanya sebatas ritual dan formalitas belaka. Tidak ngalap berkah di Keraton Kasunanan ataukah pesta kembang api semalam suntuk. Namun ada yang lebih penting dari itu, yaitu instropeksi diri (muhasabah). Apakah tahun yang akan ditinggalkan tersebut lebih baik atau sama saja dengan tahun sebelumnya.
Dengan adanya evaluasi diri tersebut, seseorang dapat mengukur dirinya sendiri. Sehingga di tahun baru ini akan lebih optimis untuk melangkah. Hal-hal mana yang harus diperbaiki dan hal-hal mana yang harus ditinggalkan.
Dengan momentum tahun baru satu Muharram 1431 Hijriyah dan tahun Jawa 1 Sura 1943 Dal ini, kita dituntut untuk selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada). Eling, siapa sesungguhnya siapa diri kita. Bukankah jabatan maupun pangkat hanya stastus sosial yang sewaktu-waktu bisa hilang.
Begitu juga harus Waspodo, yang berarti peka terhadap sesuatu, sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.