Rabu, 23 Desember 2009

Aksi Sepihak Petani Pedesaan di Jawa Timur dan Kegagalan Landreform Tahun 1960

A. Pendahuluan
Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, masalah tanah merupakan salah satu persoalaan yang sangat prinsip bagi kehidupan petani sejak zaman penjajahan sampai sekarang. Hal itu dikarenakan sebagian besar rakyat Indonesia hidup sebagai petani. Sistem hukum tanah yang ada, yang berasal dari zaman sebelum kemerdekaan saling bertentangan, seperti pertentangan antara hukum adat dan hukum barat sebagai akibat dilaksanaknnya hukum agraria Belanda. Akibatnya terjadilah kesimpangsiuran dalam sistem pemilikan tanah.
Konflik-konflik telah terjadi di berbagai tempat di Jawa Timur sebagai akibat sampingan dari pelaksanaan UUPA. Konflik-konflik itu menggambarkan reaksi sengit terhadap perubahan sosial yang dilaksanakan. Konflik-konflik itu telah menimbulkan gejolak dan keresahan yang meluas pada masyarakat petani di Jawa Timur baik pemilik tanah luas atau tuan tanah maupun yang tidak bertanah.
Wilayah Jawa Timur merupakan suatu area yang pada tahun 1960-an sangat kental diwarnai konflik ideologi-politik-ekonomi. Ideologi atau aliran politik tertentu (selain Pancasila) dan kepentingan-kepentingan tertentu yang “dimaksudkan” lewat persoalan tanah ternyata telah menimbulkan keresahan dan konflik sosial di kalangan petani seperti terjadi di Jawa Timur.
Pada masa-masa itu persoalan tanah dan struktur kepemilikannya di Jawa pada umumnya dan di Jawa Timur khususnya telah mencapai tingkat kritis. Untuk mengatasinya pemerintah melaksanakan UUPA atau landreform. Pelaksanaan landreform juga dimaksudkan sebagai upaya mengatasi kesulitan ekonomi, terutama di bidang produksi pangan.
Di berbagai daerah PKI menghantam tuan tanah dengan melakukan aksi sepihak. Para tuan tanah itu juga menjadi anggota partai politik terutama Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Ironisnya, PKI memanfaatkannya secara politis guna mewujudkan program agrarinya yang radikal lewat aksi-aksi sepihak. Dengan aksi sepihak itu PKI berusaha mematangkan situasi guna mencutuskan revolusi sosial. Dalih yang dipakainya adalah memberantas sabotase terhadap landreform yang dilakukan oleh tuan tanah dan “setan-setan desa.”
Salah satu segmen sosial yang sangat menjadi atensi PKI adalah soal redistribusi tanah untuk setiap orang (landreform). Bagi PKI masalah ini penting karena bisa mencitrakan dirinya sebagai partai kerakyatan yang berorientasi pada keadilan. Tujuan akhir yang ingin dicapainya adalah menciptakan masyarakat tanpa kelas. Petani yang dikooptasi oleh PKI/ BTI untuk menjadi anasir pokok dalam aksi-aksi perebutan tanah sebenarnya merupakan second line dari penempatan kaum buruh industri sebagai agen utama revolusi. Dengan kata lain walaupun PKI/ BTI mementingkan faktor petani namun secara fundamental kaum buruh tetap diutamakan.
Gerakan aksi sepihak yang dilancarkan PKI/ BTI telah mendorong terjadinya polarisasi di kalangan tuna kisma (petani tak bertanah) dan petani miskin. Buruh tani dan petani miskin pendukung PKI/ BTI bersikap mendukung, sebaliknya mereka yang berafiliasi kepada PNI dan organisasi kemasyarakatan/ politik Islam (NU, Muhammadiyah, Masyumi) menantang aksi sepihak. Polarisasi itu berkembang menjadi konflik terbuka tatkala PKI/ BTI benar-benar melakukan aksi sepihak. Kedua belah pihak berdiri di dua tempat berseberangan.
Gerakan aksi sepihak yang dilancarkan oleh Barisan Petani Indonesia (BTI) di Klaten Jawa Tengah dan berbagai daerah di Jawa Timur merupakan agitasi yang ampuh dalam upaya menggerakkan massa-rakyat pedesaan. Dari sisi perjuangan parati yang menaunginya, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI), gerakan aksi sepihak merupakan test case bagi gerakan yang lebih besar yang menjadi tujuan akhir perjuangan akhir PKI yaitu Gerakan 30 September 1965. Di samping itu meletusnya aksi sepihak merupakan keberhasilan dari perubahan pembinaan basis massa dari masyarakat perkotaan ke masyarakat pedesaan.
Berkaitan dengan hal tersebut, di daerah agraris seperti Kabupaten Klaten, Kabupaten Jember, maupun Kabupaten Ngawi, pemdukung utama organisasi komunis pada umumnya dating dari lapisan masyarakat paling bawah yaitu kelompok petani miskin dan buruh tani. Mereka terhimpun dalam anak organisasi PKI yaitu BTI sebaiknya pendukung oragnisasi non-komunis seperti Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Timur berasal dari petani menengah dan petani kecil. Adapun partai Nasionalis Indonesia (PNI) mempunyai pendukung kuat dari kalangan petani menengah, petani kaya, pamong desa, dan pegawai negeri.

B. Model-Model Pergolekan Petani
Pemberontakan petani yang berkobar sepanjang satu setengah abad dapat digolongkan sebagai gerakan tradisional, baik dalam ideologi, kepemimpinan, dan tujuan. Sebaliknya, pergolakan petani pada tahun 1960-an, di mana petani mulai terlibat dalam gerakan politik modern, merupakan politik revolusioner.
1. Struktur Agraria
Terpadunya proses monetisasi dengan kepadatan penduduk telah memacu kelompok-kelompok kelas di desa, terutama kelas penyewa, petani penggarap, dan buruh tani. Secara tradisional kriteria kepemilikan tanah telah menjadi dasar berbagai klasifikasi struktur warga desa di Jawa. Klasifikasi itu kemudian membedakan warga desa menjadi:
a. Kelompok warga desa inti (pribumi), kelompok ini memiliki tanah rumah dan hak serta kewajiban penuh sebagai warga desa dalam berbagai pekerjaan desa.
b. Indung, yaitu mereka yang memiliki sebidang tanah pertanian natau rumah tetapi tidak kedua-duanya.
c. Bujang, kelompok ini tidak memiliki tanah ataupun rumah.
Pembagian lebih lanjut terhadap golongan-golongan atau kelas-kelas di desa dapat pula dilakukan berdasarkan lamanya tinggal di desa, pemilikan perseorangan terpisah dan tanah. Tetapi pada dasawarsa 1960-an, karena kehidupan di desa belum demikian banyak meengalami differensiasi, maka kriteria kepemilikian luas tanah masih sangat mewarnai penggolongan struktur agraria hampir di seluruh pedesaan di Jawa. Struktur kelompok masyarakat di Jawa berdasarkan pemilikan tanah adalah sebagai berikut:
a. Kuli kenceng sebagai kelompok inti desa, meliputi lebih dari 50% dari jumlah pemilik tanah dan para pekerja di desa.
b. Kuli kendo, kira-kira 22% berstatus 22% sebagai calon kuli kenceng.
c. Gundul, memiliki tanah pertanian sejumlah kira-kira 4% tetapi tanpa memiliki halaman dan pekarangan.
d. Magersari, kira-kira berjumlah 12,8%, buruh tani, tidak memiliki tanah tetapi menempati rumahnya sendiri yang terletak di halaman orang lain.
e. Mondok empok, kira-kira terdiri 3,99%, penduduk desa yang tidak memiliki sawah, dan tanpa rumah sendiri.
Dari penggolongan struktur warga desa berdasarkan pemilikan tanah seperti di atas tampak bahwa di puncak struktur agrraria terdapat kelas tuan tanah besar, termasuk orang-orang dengan hak-hak pemilikan tanah yang memberi wewenang mereka untuk menyewakan tanah kepada penyewa dan sub-penyewa.
2. Struktur Sosial
Dari uraian yang telah dikemukakan tampak adanya pola pemilikan tanah di Jawa pada umumnya, terutama di daerah berpenduduk padat dengan pertanian yang intensif, merupakan hasil perkembangan pertanian menjelang dasawarsa 1960-an. Meningkatnya jumlah penduduk serta masuknya ekonomi pasar (komersial) ke pedesaan mengakibatkan para petani kecil secara berangsur-angsur tergusur dari tanahnya. Lahan yang terlalu sempit, apalagi kurang dari setengah hektar, tidak ada lagi artinya secara ekonomi. Akibatnya kaum tani semakin terikat pada hutang. Terakhir, mereka terpaksa melepaskan tanahnya, menjual tanah itu kepada orang yang lebih mampu. Status mereka berubah menjadi buruh tani yang dipekerjakan oleh kaum tani yang lebih berhasil.
Menurut pengamatan Geertz, dalam masyarakat Jawa terdapat orientasi budaya yang berbeda-beda yang biasanya dibagi dalam tiga kelompok besar yakni Priyayi (orang-orang yang mempunyai hubungan aristrokasi turun-temurun, berakar dari kerajaan Hindu Jawa Kuna), Santri (mendasarkan diri pada subtradisi Islam di Jawa, secara tradisional sering dihubungkan dengan pedagang-pedagang pesisir), dan Abangan (berorientasi kepada berbagai macam kepercayaan spiritual serta upacara selamatan ritual dengan penekanan pada unsur animisme dalam sinkretisme Jawa.
PKI yang berusaha melaksanakan landreform secara radikal, memfokuskan sasarannya pada golongan (kelas) tuan tanah yang kebanyakan terdiri dari para kiai dan haji ataupun orang-orang Islam yang kaya lainnya, disamping juga orang-orang kaya dari golongan abangan.
PKI mengembangkan dan memanipulasi hubungan kerja antara tuan tanah-petani kaya dan kaum buruh tani dan petani miskin sedemikian rupa sesuai dengan paham komunis sebagai hubungan penghisapan (eksploitatif). Tujuannya adalah untuk menimbulkan pertentangan antargolongan atau antarkelas, hingga terjadilah konflik untuk mengobarkan perjuangan antarkelas.
Dalam perjuangan kelas, kelas proletar harus menghancurkan kelas tuan tanah agar terbebas dari penghisapan. PKI yang mengembangkan proses perjuangan kelas berdasaekan alasan-alasan ekonomis, tampaknya tidak memperhatikan faktor-faktor lain yang juga erat hubungannya dengan kegiatan perekonomian.
3. Struktur Politik
Sebenarnya fokus kekuatan politik para petani pedesaan terletak dalam masyarakat pedesaan itu sendiri. Intinya mengenai masalah tanah. Orientasi politik mereka hanya tertuju pada tanah sebagai lahan pertanian mereka semata. Orientasinya adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan bersifat lokal. Meskipun berbagai letupan kerusuhan sebagai akibat ketidakpuasan dan pemberontakan telah terjadi tetapi mereka tidak mampu menyusun strategi perjuangan melebihi kapasitas lokal yang berdimensi lebih luas dan berjangka panjang. Oleh karena itu kaum petani menjadi ajang perebutan pengaruh berbagai kekuatan politik sebagai perpanjangan politik tingkat nasional.
Pemimpin-pemimpin PKI menandaskan bahwa petani merupakan dasar kehidupan partai mereka. Untuk mencapai tujuan politiknya, PKI lebih bertujuan melaksanakan program agraria daripada industri. Lewat strategi itu PKI bersaing dengan NU dan PNI dalam menarik dukungan para petani. Secara eksplisit dan terbuka (terus terang), strategi itu dirumuskan melalui usaha mewujudkan UUPHB dan UUPA secara radikal. Semboyan nasionalisasi dan hak atas tanah didengungkan dihadapan petani-petani miskin dan buruh tani untuk menarik dukungan petani kelas bawah. Selanjutnya semboyan itu dianggap tidak menguntungkan perjuangan PKI, dan menjelang kongres BTI V diubah serta dirumuskan secara tegas.
Di samping itu, seperti halnya partai-partai lain, PKI merekrut massa anggotanya juga dari pendukung aliran-aliran kebudayaan atau keagamaan tertentu yang tidak dipersatukan oleh solidaritas kelas, melainkan dipertautkan oleh hubungan patron-client. Dengan kata lain, kegagalan aksi-aksi sepihak dan juga G 30 S pada tahun 1965, sebagian besar disebabkan oleh aksi-aksi massa PKI dalam pelaksanaan UUPA/ UUPHB yang ternyata secara struktural menusuk tubuhnya sendiri.
Hubungan timbal-balik antara pemilik tanah luas dengan buruh tani atau petani miskin dalam proses produksi biasanya dinamakan hubungan patron-client (patron-client relationship) atau hubungan pelindung-terlindung seperti hubungan anatara tuan tanah dengan penggarap atau buruh tani, kepala desa-warga, kiai-santri, guru-murid dan sebagainya.
Selanjutnya guna mencapau tujuannya PKI melakukan manuver politik: petani petani atau kaum buruh agar dipersenjatai sebagai angkatan ke-V. Dengan demikian gagallah tujuan PKI membentuk kelas proletar tidak bertanah. Gagal pula skenario PKI membenturkan kelas proletar dengan kelas yang lebih tinggi dalam suatu revolusi sosial. Hanya mereka yang tergabung dalam PKI/ BTI yang melakukan konfrontasi dan mereka mengalami nasib tragis.
Jadi, masuknya partai politik yang diwarnai dikotomi struktur abangan-santri ke dalam masyarakat petani tidak berhasil menciptakan kelas-kelas berdasarkan kepentingan ekonomi untuk memporak-porandakan hubungan patron-client.
4. Struktur Kepemimpinan
Konsep kepemilikan memiliki hubungan erat dengan berbagai konteks sosial dan politik seperti tercermin dalam kehidupan berbagai partai politik serta organisasi-organisasi lainnya. Kedudukan serta peranan pemimpin dan kepemimpinannya sangat penting dalam masyarakat tradisional, modern ataupun masyarakat yang sedang berubah.
Para pemimpin PKI/BTI dengan sungguh-sungguh menanamkan keyakinan bahwa program untuk menciptakan masyarakat sosialis lewat jalan menyita tanah-tanah kosong bekas perkebunan asing, tanah tuan-tuan tanah kemudian membagikannya kepada para buruh tani dan petani miskin, pasti berhasil. Tetapi kenyataannya dalam berbagai bentrokan yang timbul sebagai akibat tindakan aksi sepihak yang dilancarkan oleh pendukung partai itu terhadap tuan tanah, baik dari warga NU maupun lainnya, mereka bersifat ofensif sampai akhirnya tidak mampu menahan serang balik lawan-lawannya yang sering bertindak lebih nekad.
C. Bilur-bilur Pemicu Konflik
Salah satu masalah politik yang paling hangat pada masa Demokrasi Terpimpin dan politik Nasakom pada tahun 1960-1965 ialah masalah aksi sepihak. Masalah ini dapat dikatakan menjadi isu sentral sepanjanjang tahun 1964 dan awal 1965. Aksi sepihak dilancarkan dalam rangka pelaksanaan UUPA atau landreform dan menjadi gerakan yang meluas di Jawa, terutama di pedalamn Jawa Timur. Kekutan sosial politik yang melancarkan, membimbing, dan mendukungnya adalah PKI. Tujuannya adalah untuk melaksanakan program landreform mereka yang radikal guna mewujudkan masyarakat sosial-komunis. Sasaran PKI adalah dengan melenyapkan lawan politiknya, terutama yang mereka anggap sebagai tuan tanah serta pendukung-pendukungnya.
1. Srategi PKI Menarik Massa Petani
Para pemimpin PKI berusaha menarik keuntungan politik dengan cara mempertajam ketegangan struktural. Mereka dengan rajin melaksanakan analisis secara tajam tentang struktur masyarakat pedesaan. Para pimpinan PKI tanpa jemu terus menerangkan analisis itu kepada masyarakat melalui berbagai media.
Langkah lain yang dilakukan PKI ialah mengenal berbagai aspek kehidupan petani dalam hubungannya dengan keagrarian. Untuk menangani masalah ini, pengiriman kader-kader partai ke pedesaan menjadi salah satu program utama. Dalam waktu cukup mereka mengadakan diskusi, konsolidasi serta meluaskan jaringan organisasi yang berafiliasi kepada PKI sebagai kegiatan pokok partai.
Keadaan masyarakat dan perekonomian Indonesia yang dualistik menjadi sasaran kampanye PKI. Para petani dianjurkan untuk menyerobot atau menanami tanah-tanah perkebunan asing yang terlantar, seperti terjadi pada salah satu perkebunan bekas milik Inggris di Sumbermanjing (Malang Selatan) dan perkebunan Satak-Pawon di Jengkol dekat Pare. PKI kemudian melancarkan aksi tuntutan penyitaan di samping mendukung aksi-aksi petani itu. Di sisi lain, pemerintah berdasarkan perjanjian KMB (Konferensi Meja Bundar) berusaha mengembalikan perkebunan itu kepada pemiliknya. PKI dalam pembelaannya menyatakan bahwa tindakan yang mereka lakukan merupakan jawaban terhadap langkanya tanah garapan. Tetapi tidaklah mustahil tujuan utamanya adalah untuk menarik simpati kaum tani dan menjatuhkan wibawa pemerintah.
2. Landreform Sebagai Media Aksi Sepihak
Menjelang akhir tahun 1950-an, PKI melancarkan perubahan tuntutan pemerintahberdasarkan pertimbangan kekuatan. Di sisi lain program-programnya di bidang agraria juga makin radikal.
Tujuan pemerintah melaksanakan landreform adalah untuk lebih memeratakan pendapatan sesama warga negara serta menciptakan susunan sosial yang akan membuka jalan bagi peningkatan produksi nasional.
Dalam proses penetapannya, landreform ternyata diputuskan berdasarkan prinsip kompromis antar dua aliran, yaitu: pertama, aliran yang mewakili kepentingan petani tidak bertanah; kedua, aliran yang mewakili kepentingan tuan-tuan tanah atau pemilik tanah.
Ada tiga kegiatan yang menandai pelaksanaan ladreform dari tahun 1961 sampai 1965, diantaranya adalah:
1. Pendaftaran tanah
2. Penentuan tanah lebih serta pembagiannya, kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah
3. Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPHB) atau Undang-Undang No. 2 tahun 1960.


3. Pola-pola Gerakan Aksi Sepihak
PKI makin meningkatkan kegiatan penelitian setelah landreform dilaksanakan, apalagi kegiatan yang berhubungan dengan pendaftaran dan penentuan tanah lebih dipusatkan di desa-desa dan melibatkan pejabat-pejabat tingkat desa.
PKI kemudian mencium adanya tindakan yang mereka anggap menyimpang dari ketentuan-ketentuan UUPA. Karenanya, PKI melancarkan protes melalui berbagai media, tindakan, dan aksi. Dengan aksi sepihak para anggota PKI/BTI serta simpatisannya melakukan gerakan pengambilalihan secara paksa terhadap tanah-tanah lebih yang diselewengkan oleh tuan tanah.
Dalam peristriwa aksi sepihak, ternyata PKI tidak berhasil memperoleh dukungan para petani miskin seluruhnya. Mereka tetap terpecah menjadi tiga kelompok besar dalam kerangka politik Nasakom. Bahkan karena aksi-aksi sepihak yang dilancarkannya, PKI mendapat perlawanan keras dari warga NU maupun PNI, disamping juga harus berhadapan dengan aparat keamanan yang setia kepada pemerintah.
Dalam pelaksanaan landreform, PKI yang semula bertindak agresif, setelah melancarkan aksi-aksi sepihak akhirnya menjadi pihak yang lebih bersifat defensif. Aksi sepihak yang dilancarkan ternyat menimbulkan sikap pro dan kontra. Tampaknya pendukung-pendukung aksi itu terutama adalah mereka yang menganut paham komunis, simpatisan-simpatisan, serta organisasi-organisasi yang berhasil dipengaruhi. Para penentangnya adalah mereka yang tidak dapat mebenarkan aksi sepihak.
Selanjutnya PKI menetapkan tiga syarat yang harus dipatuhi agar aksi-aksi yang dilancarkan sukses, yaitu:
a. Organisasi yang kompak, terutama kebulatan pendirian dan tekad pimpinan aksi di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten.
b. Penyelenggaraan pendidikan berjalan seperti kursus kilat yang khusus menangani soal-soal praktis tentang aksi untuk kader-kader desa.
c. Aksi dilancarkan secara terpimpin, mencegah aksi pimpinan tanpa massa atau aksi massa tanpa pimpinan, konsekuen bersandar pada kekuatan buruh tani dan tani miskin.
Tetapi tampaknya PKI memang belum siap untuk melakukan konfrontasi total guna melancarkan revolusi sosial lewat aksi-aksi sepihak yang dilancarkan, meskipun propaganda dan publikasi yang yang dilancarkan telah mewarnai media media masa dari akhir tahun 1963 sampai 1965-an.
D. Penutup
Jelas kiranya bahwa bukan tani penggarap, yang menjadi anggota PKI/BTI dan dicap merah, yang menjarah tuan tanah melalui aksi sepihak yang dilakukannya. Sebaliknya, justru tuan tanah yang terus-menerus menjarah hasil tenaga kerja kaum tani yang dicap merah itu. Mereka menyabot pelaksanaan UUPA dan UUPHB dengan tujuan supaya tuan tanah tetap bebas menjarah tenaga kerja kaum tani.
Fakor sosial dan budaya merupakan variable yang membedakan faktor penyebab serta pola terjadinya gerakan aksi sepihak di daerah Kabupaten Klaten dan Jawa Timur. Sebagai daerah berpenduduk terpadat di pulau Jawa maka batas maksimum penguasaan tanah di daerah seperti Klaten menurut UUPA adalah 7 hektar. Gerakan aksi sepihak sebenarnya merupakan manifestasi dari adanya masalah sosial yang sedemikian berat serta retribusi surplus yang sedemikian tidak adil. Latar belakang sosial dan budaya daerah Klaten daerah Jawa Timur berpengaruh pada jenis dan sifat gerakan aksi sepihak yang terjadi. Hubungan sosial yang semakin rumit dan redistribusi yang tak adil yang ada di Klaten serta ketimpangan dalam penguasaan faktor produksi di Jawa Timur merupakan factor pendorong bagi munculnya aksi sepihak di kedua daerah tersebut.
Dari satu sisi, gerakan aksi sepihak dapat dianggap sebagai salah satu bukti dari semakin rapuhnya ikatan komunal serta harmni yang selama ini dipercaya sebagai elemen perekat bagi masyarakat pedesaan yang semakin tersusun secara berlapis-lapis. Di sisi lain aksi sepihak juga merupakan bukti dari keberhasilan dari partai politik dalam melakukan penyadaran atau pendidikan politik kepada masyarakat pada lapisan paling bawah.
Untuk menghapuskan penghisapan feodal dan berangsur-angsur memperbaiki kehidupan petani, maka pemerintah pada tahun 1960 menetapkan UU Landreform, UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dan UUPHB (Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil). Dengan UUPA buruh tani dan tani miskin berhak mendapatkan sebidang tanah untuk hidupnya sedangkan UUPHB memungkinkan petani mendapatkan bagian yang adil dalam bagi hasil.
Strategi dan taktik tuan tanah untuk menghindari terlaksananya UUPA dan UUPHB adalah strategi dan taktik untuk mempertahankan kebathilan. Hal ini dibuktikan denagn adanya kyai-kyai yang mengalihkan status tanah pribadi mereka menjadi tanah wakaf pesantern atau masjid. Cara lain adalah dengan membagikan sebagian tanah pribadi mereka dan kerabat.
Karena pelaksanaan UUPA dan UUPHB ternyata disabot tuan tanah dengan berbagai cara, tentu wajar saja bila timbul reaksi dari kaum tani penggarap. Diantaranya dengan aksi sepihak. Aksi sepihak itu sebenarnya semacam koreksi terhadap usaha tuan tanah yang merintangi jalannya UUPA dan UUPHB serta karena kelambanan pemerintah melaksanakannya.

Daftar Pustaka
Aminuddin, Kasdi. 2001. Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965. Yogyakarta : Jendela.


































Tidak ada komentar:

Posting Komentar