Rabu, 23 Desember 2009

Desa Ngablak Kabupaten Pati tahun 1869 – 1929

Pertama kali membuka buku Taufik Abdullah yang berjudul Sejarah Lokal Indonesia, saya langsung tertarik dengan tema sejarah lokal desa Ngablak. Maklum saja, selain pernah tinggal di Pati selama tiga tahun, saya juga memiliki banyak teman di desa tersebut. Oleh karena itu tidak ada salahnya kalau saya ingin mengetahui sedikit dari sejarah desa tersebut.
Desa Ngablak secara administratif masuk dalam kecamatan Cluwak kabupaten Pati Jawa Tengah. Pada tahun 1869, jumlah penduduk desa Ngablak adalah 912 yang terdiri dari orang pribumi. Kemudian pada tahun 1929, jumlah penduduknya meningkat menjadi 2608 orang pribumi, ditambah 2 orang Cina.
Tahun 1869, Ngablak masih berupa hutan rimba. Karena wilayah yang berlimpah, pada tahun tersebut desa ini menyerahkan 25 bau (satu bau sama dengan 7096,50 m2) kepada desa Ngawen tetangganya. Sempat juga terjadi beberapa kali sengketa dengan desa Gerit, yang juga berdekatan dengan Ngablak. Namun akhirnya sengketa tersebut dapat diselesaikan tahun 1914, ketika diadakan penggolongan tanaman paksa.
Sejak dari itu, hutan dan rimba banyak dibuka untuk perumahan penduduk. Sebagian tanah yang dulu digunakan untuk tanaman paksa kopi Gubernemen, dipakai sebagai padang gembalaan. Karena pembukaan hutan itu, luas tanah sawah meningkat drastis, yaitu  150 %. Tanah pekarangan pun juga bertambah luas, karena ada sawah dan sebagian dari kebun-kebun kopi lama yang dijadikan pekarangan. Selain itu juga pemilikan tanah kering pun ikut bertambah karena pembukaan hutan dan perubahan kebun-kebun kopi menjadi tanah perladangan.
Masih di tahun yang sama, setiap kali musim kemarau tiba sawah-sawah ditanami dengan padi gadu, jagung, jarak, kapas dan tanaman palawija lainnya. Namun sekarang jarak dan kapas tidak lagi ditanam di desa ini.
Jarak yang dulu menghasilkan minyak lampu, pada tahun 1929 menghilang karena bertambahnya pemakaian minyak tanah. Sedangkan untuk kapas yang dahulu dipakai untuk bahan menenun pakain, pada tahun 1929 tidak ditanam lagi. Alasannya karena impor lebih murah.
Perbedaan dengan tahun 1929, setiap kali musim kemarau datang, padi tidak hanya ditanami padi gadu, jagung, maupun jarak sepertitahun 1869. Selain padi gadu, sawah ditanami juga dengan jagung, ketela dan kacang.
Ada satu lagi tanaman yang membantu penduduk dalam pencukupan kebutuhan, yaitu kapuk. Tanaman ini banyak dijumpai di sepanjang jalan dan saluran-saluran air. Pada tahun 1928, penghasilan dari penjualan tanaman ini mencapai f 288. Penghasilan ini dimasukkan ke kas desa.
Kemudian untuk peternakan terjadi penambahan dari tahun 1869 dan tahun 1929. Pada tahun pertama hewan yang ada di desa Ngablak semata-mata hanya kerbau. Namun pada tahun kedua sudah terdapat sapi dan kuda. Sapi ini terutama digunakan untuk pertanian dan sebagian digunakan untuk menarik pedati. Sedangkan kuda dipakai untuk menarik gerobak penumpang. Dengan begitu pada tahun kedua ini pemilikan alat-alat agkutan adalah hal yang baru bagi penduduk.
Pada tahun1869 biasanya ternak di sewa pada saat musim hujan. Harga sewanya dibayar denagn menggunakan padi, yakni 4 bawon (6 pikul) untuk seekor kerbau dalam semusim. Atau 1 amet dan 2 bawon (8 pikul) padi untuk sepasang kerbau. Akan tetapi pada tahun 1929 masyarakat lebih di biasakan mengupah seorang untuk mengerjakan sawah dangan pasangan kerbaunya. Upahnya yaitu f 0.50 selama setengah hari.
Masih di tahun yang sama, di desa tersebut juga terdapat tanah komunual atau yang disebut sebagai “tanah ulayat”. Yaitu sawah-sawah milik bersama. Sawah ulayat ini tidak boleh diperjual-belikan oleh si pemilik. Bidang-bidang sawah masing-masing pemiliknya tidak mempunyai tempat yang tetap, akan tetapi beralih-alih secara teratur. Sistem pengalihan ini dihentikan pada tahun 1914, dan tidak ada lagi pada tahun 1929.
Masyarakat desa yang sudah memiliki sawah, bukan sawah ulayat lebih dari 1 bau tidak diberikan lagi hak atas tanah ulayat. Sedangkan bagi masyarakat yang sawahnya bukan ulayat, tapi lausnya tidak ada1 bau, maka hanya akan mendapatkan bagian dari sawah ualayat sedemikian luas, sehingga jumlah luas seluruhnya tidak boleh lebih dari luas tanah seseorang yang menjadi kuli dari sawah ulayat. .
Pelaporan lama memberitahukan empat kali terjadi pergantian sawah-sawah menjadi sawah ulayat. Alasannya karena sawah itu terlantar, tidak terurus sesudah meninggalnnya orang yang pertama kali membukanya. Kemudian pada tahun 1929 jumlah sawah ulayat semakin berkurang dibandingkan tahun 1869. Pada tahun 1929, sebagian tanah ulayat yang tidak terpelihara, dibentuk menjadi “sawah bondo deso”. Luasnya 0,396 bau. Setiap tahun sawah itu disewakan dan hasilnya dipakai untuk kas desa.
Pada tahun 1869 tidak satupun tanah dimiliki oleh orang-orang bukan penduduk Ngablak. Tetapi pada tahun 1929 terdapat 24 bidang sawah yang bukan sawah komunal. 9 ladang dan 8 pekarangan. Jadi 41 bidang tanah yang dimiliki oleh 32 orang yang tidak bertempat tinggal di Ngablak. Para pemilik tanah ini sebagian besar tinggal di Tayu, Juwana dan ada yang di Semarang. perpindahan tanah ke tangan orang luar adalah suatu gejala baru di desa tersebut.
Pelaporan tahun 1869 menyebutkan bahwa dari 172 orang kepala keluarga, 136 orang mencari nafkah di bidang pertanian, dan 36 orang di bidang perburuhan serta perdagangan.
Tanah pekaranagn dan perumahann yang bukan tanah ulayat, dalam tahun 1869 boleh diperjual-belikan. Tetapi pembelinya hanya diperbolehkan masyarakat desa setempat saja. Mereka yang berada di luar, harus pindah dulu ke Ngablak. Akan tetapi pada tahun 1929 kepada bukan penduduk Ngablak diperbolehkan untuk membeli tanah. Begitu juga pewarisan tanah. Pada awalnya hanya diperbolehkan bagi masyarakat setempat. Tetapi sekarang penduduk dari laur pun bisa mewarisi tanah di Ngablak.
Pada tahun 1869, seorang tidak dilarang memiliki lebih dari satu pekarangan. Namun pada tahun 1929 hal tersebut diperbolehkan. Dengan demikian maka hapuslah beraneka ragam perwujudan hak kuasa desa terhadap sawah ulayat.
Pekerjaan seperti pandai emas, tukang jahit, tukang kayu, tukang dobi, persewaan kedati dan guru-guru tidak terdapat pada tahun 1869. Pekerjaan seperti itu adalah tergolong pekerjaan baru di desan Ngablak. Masih di tahun tersebut, penghasilan penduduk terutama berasal dari sektor pertanian rakyat. Tetapi pada tahun 1929 di samping dari pertanian, rakyat mendapatkan penghasilan dari sektor-sektor non-pertanian dan perburuhan.
Sekarang desa Ngablak mempunyai pasar sendiri. Tepatnya pada tahun 1926. Pembeliannya dari seorang pengusaha swasta. Pasar ini merupakan pasar kapuk yang terbesr di kabupaten Pati. Di pasar ini kapuk-kapuk di beli oleh orang Cina dan petani-petani. Orang-orang Cina itu adalah para pemilik perusahaan pengolahan kapuk di Tayu, Pati, dan Juwana.
Di musim panen selain kapuk, banyak pula diperjual-belikan barang-barang pakaian dan benda-benda lainnya. Sebagian besar dari pengahasilan yang di dapat dari penjaulan kapuk ini untuk membeli barang-barang itu. Kalau begitu, penjualan kapuk ini merupakan salah satu pemasukan besar bagi masyarakat setempat.
Pada tahun 1929 apabila dibandingkan dengan tahun 1869, pertukaran tanah, perdagangan dan transportasi lalu lintas tentulah sangat banyak bertambah. Perkreditan tanah bertambah dan didaerah-daerah ini sering dilakukan pembayaran uang muka atas harga kapuk yang akan diserahkan.
Penanaman tebu dan kapuk merupakan sesuatu yang baru dan menambah penghasilan rakyat berbentuk uang. Oleh karena itu, pada tahun 1929 penghasilan rakyat lebih banyak daripada tahun 1869. Berbagai kewajiban penduduk mulai di bayar dengan menggunakan uang, dan tidak lagi berupa tenaga kerja maupun hasil bumi.
Perkembangan yang dialami desa Ngablak sampai tahun 1929 terlihat dinamis, khususnya dari sistem ekonomi tertutup tanpa menggunakan uang ke arah ekonomi terbuka, yang menggunakan uang sebagai alat tukar.
Metodologi
Sebelum pembahasan mengenai metodologi, yang perlu diketahui terlebih dulu apakah ini termasuk sejarah lokal yang subjektif ataukan objektif. Pada awalnya saya mengira kalau tema ini adalah berupa sejarah lokal secara objektif. Alasannya karena pertama kali membaca tema ini pada bagian awal yang lebih di tekankan adalah kondisi geografis daerah Ngablak.
Namun ketika selesai membaca, ternyata saya menemukan sejumlah aktifitas manusia yang berkenaan dengan aktifitas ekonomi. Misalnya ada pasar, penjualan kapuk, dan alat transportasi. Dengan begitu saya menyimpulkan kalau tema di atas adalah sejarah lokal yang sejarah lokal yang dipandang secara Subjektif dan Objektif. Artinya prespektif dari daerah atau kondisis geografis dan aktifitas manusia di daerah itu.
Sedangkan metodologi merupakan pendekatan yg digunakan dalam kajian suatu disiplin ilmu tertentu. Dalam hal ini adalah sejarah, khususnya sejarah lokal. Tujuan digunakan metodologi ini adalah agar dapat menghasilkan kajian yang lebih spesifik.
Untuk tema di atas yang digunakan adalah pendekatan ekonomi. Misalnya disebutkan sejumlah aktifitas manusia yang berkaitan dengan perekonomia. Tidak disebutkan tentang hubungan antar masyarakat manupun kebudayaan. Jadi tema ini termasuk sejarah lokal yang menggunakan pendekatan ekonomi.

1 komentar: