Rabu, 23 Desember 2009

Local genius masyarakat Jawa

Belum hilang dari memori masyarakat Kota Solo dengan ritual peringatan Kirab 1 Sura di Kasunanan Surakarta malam Jumat lalu. Ribuan masyarakat, baik itu dari Solo maupun luar Solo berbondong-bondong datang untuk menyaksikan kerbau bule keturunan Kiai Slamet digiring untuk mengelilingi keraton.
Tidak hanya melihat, mereka juga berlomba-lomba berebut untuk mendapatkan kotoran Kerbau Kiai Slamet tersebut. Tidak cukup sampai itu, alat-alat prosesi upacara yang digunakan juga tidak luput dari keroyokan masa. Hal yang menurut rasio tidak masuk akal tersebut mereka lakukan tidak lain adalah untuk ngalap (mencari) berkah.
Fenomena unik tersebut adalah salah satu kebudayaan lokal yang ada di Kota Bengawan. Ritual tahunan tersebut dilakukan untuk memperingati datangnya tahun baru Hijriyah yaitu tanggal 1Muharram 1431 dan tahun Jawa 1 Sura 1943 Dal. Sura sendiri diambil dari Bahasa Arab yakni Asyura. Selain ngalap berkah dari Kerbau Kiai Slamet, berbagai ritual lain juga dilakukan oleh masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Solo pada khususnya untuk menyambut tahun baru tersebut. Misalnya ngumbah gaman (mencuci pusaka), lelakonan (menjalankan) puasa, bertapa, membuat bubur, tirakat dan ritual lainnya.
Dalam agama (Islam), bulan Muharram (Asyura) atau tahun baru Islam adalah bulan yang mulia. Karena kemuliaannya tersebut, Nabi Muhammad SAW melarang kaum muslimin untuk berperang. Sedikitnya terdapat empat keistimewaan di dalam Bulan Muharram. Diantaranya adalah, pertama, bulan dimana manusia pertama kali diciptakan, yaitu Adam. Kemudian menyusul diciptakan Siti Hawa. Kedua, bumi dan seisinya ini juga diciptakan juga pada Bulan Muharram. Ketiga, bulan dimana mendaratnya kapal Nabi Nuh dari terjangan banjir yang menimpa kaumnya yang membangkang, dan Keempat, bulan dimana diselamatkannya Nabi Ibrahim dari kobaran api yang membakarnya.
Keistimewaan tersebut, oleh para penyebar ajaran Islam di Tanah Jawa, termasuk Sultan Agung (1613-1645) dari Mataram Islam, diwujudkan dalam sebuah tradisi yang sesuai dengan masyarakat setempat. Hingga saat ini masih ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa pada bulan Sura tidak baik untuk menyelenggarakan hajatan. Misalnya mengadakan pernikahan, khitanan dan sebagianya.
Disinilah keunikan masyarakat Jawa. Menurut hemat penulis, inilah yang disebut dengan local genius masyarakat Jawa. Local genius merupakan kemampuan menerima suatu kebudayaan baru dan diwujudkan kembali berdasarkan pengalaman masa lampau. Meskipun dalam ajaran Islam secara jelas diperlihatkan bagaimana keistimewaan pada bulan Muharram, namun tidak bagi masyarakat Jawa. Justru dengan kearifannya, peristiwa yang terlihat jelas tersebut diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol yang unik.
Contoh lain adalah datangnya kebudayaan Hindu dari India. Oleh masyarakat Jawa tidak dengan serta merta menerima kebudayaan tersebut. Akan tetapi diseleksi terlebih dahulu kemudian diwujudkan kembali atas pengalaman masa lalu. Belum pernah dibuktikan ada candi yang sama persis dengan candi yang ada di India, meskipun sama-sama candi Hindu.
Tidak hanya sebatas ritual
Dari tahun ke tahun, masyarakat Solo sudah terbiasa dengan acara seperti itu. Mereka harus rela bangun malam agar bisa mendapatkan berkah dari Kirab 1 Suro. Begitu juga masyarakat yang datang dari luar Kota Solo. Mereka harus meluangkan waktu yang lebih untuk mandapatkan berkah dari Kiai Slamet.
Perayaan tahun baru, baik itu hijriyah atau masehi, bukan hanya sebatas ritual dan formalitas belaka. Tidak ngalap berkah di Keraton Kasunanan ataukah pesta kembang api semalam suntuk. Namun ada yang lebih penting dari itu, yaitu instropeksi diri (muhasabah). Apakah tahun yang akan ditinggalkan tersebut lebih baik atau sama saja dengan tahun sebelumnya.
Dengan adanya evaluasi diri tersebut, seseorang dapat mengukur dirinya sendiri. Sehingga di tahun baru ini akan lebih optimis untuk melangkah. Hal-hal mana yang harus diperbaiki dan hal-hal mana yang harus ditinggalkan.
Dengan momentum tahun baru satu Muharram 1431 Hijriyah dan tahun Jawa 1 Sura 1943 Dal ini, kita dituntut untuk selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada). Eling, siapa sesungguhnya siapa diri kita. Bukankah jabatan maupun pangkat hanya stastus sosial yang sewaktu-waktu bisa hilang.
Begitu juga harus Waspodo, yang berarti peka terhadap sesuatu, sehingga tidak mudah tergoda untuk melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar